Jumat, 27 Januari 2017

Tiga Kunci Keharmonisan


Kalam Habib Abdullah bin Husein bin Thahir
Orang yang taat kepada Allah SWT dipastikan bakal beruntung. Ada pun orang yang bermaksiat dengan mengingkari keesaan-Nya, kesempurnaan sifat-Nya, mengingkari diutusnya para nabi beserta kitab suci yang mereka bawa, mengingkari sebagian dari Al-Quran meski hanya sedikit, mengingkari kebangkitan setelah kematian, mengingkari hukum-hukum syariat yang telah disepakati bersama sedang ia mengetahuinya, atau menghinakan segala sesuatu yang mesti diagungkan seperti nabi dan mushaf, bisa menjadi kafir yang darahnya halal ditumpahkan. Ia bakal terkukung selamanya di dalam neraka apabila tidak lekas bertobat.
Barangsiapa berbuat dosa besar atau melakukan dosa kecil secara terus menerus, maka dia adalah orang fasik yang tak bisa diterima kesaksiannya. Ia akan terjerumus ke dalam siksa apabila tidak bertobat dan tidak dimaafkan oleh Allah SWT. Urusannya secara mutlak berada di dalam genggaman-Nya. Namun meski begitu, ia masih memiliki harapan untuk dimaafkan.
Barangsiapa meremehkan adab, maka ia akan terhalau dari sunnah. Barangsiapa meremehkan sunnah, ia akan terhalau dari fardu. Barangsiapa meremehkan fardu, maka ia akan terhalau dari iman. Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada keadaan akhir seseorang. Orang yang tak putus berbuat maksiat sangat rentan mati dalam keadaan su’ul khatimah, yaitu mati tanpa membawa iman. Semoga kita terlindung dari yang demikian. Kita memohon kepada Allah SWT agar senantiasa diselamatkan dari berbagai rupa bencana.
Perbuatan makruh kerap memancing orang untuk berbuat haram. Berikut ungkapan bijak yang patut direnungkan agar kita selamat dari perbuatan makruh: “Seyogyanya setiap insan memperhatikan apa yang mesti diperbuatnya tatkala maut menghampirinya, kemudian ia beristikamah pada perbuatan itu. Sesungguhnya ajal datang kepada seseorang sesuai keadaan yang disenanginya.”
Ketahuilah, tazkiyah adalah menyucikan diri dari kotoran-kotoran dhahir dan batin. Tazkiyah adalah takwa yang sempurna. Ada pun tadsiyah merupakan kebalikannya. Nafsu memang lebih menyukai hal-hal yang serba instan tanpa memperhitungkan resiko yang mengancam. Wajar saja, sesuai watak dasariyahnya yang buruk, nafsu cenderung tergesa-gesa dalam segala hal, ditambah dengan bujuk rayu setan yang menggoda. Orang yang beroleh taufik akan senantiasa cenderung mengendalikan nafsu dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Ia memaksa nafsunya mengamalkan ilmu-ilmu itu. Memang, upaya yang demikian akan terasa begitu lama. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat, maka hakikatnya hanya sebentar saja. Anda takkan kuasa menempuhnya kecuali bila anda memiliki kesabaran.
Sabar dalam menjalankan ibadah-ibadah fardu dan meninggalkan perbuatan haram adalah wajib. Ada pun bersabar dalam melaksanakan kesunnahan adalah sunnah. Sabar tatkala menghadapi musibah dengan meninggalkan keluh-kesah dan tidak melimpahkan keburukan kepada Allah SWT adalah wajib. Ada pun yang lebih dari itu termasuk sunnah.
Bersyukur dengan menyadari bahwa segala nikmat datang dari Allah SWT adalah wajib. Ada pun memendam rasa itu dalam hati di setiap kondisi merupakan pondasi yang kokoh dalam agama. Melafalkan rasa syukur dengan ucapan, yakni memuji Allah SWT atas segala keindahan aktivitas-Nya, pada dasarnya adalah fardu. Di antara wujud pelafalan rasa syukur itu adalah ucapan Alhamdulillah. Ada pun mengungkapkan rasa syukur dengan perilaku, kadang kala hukumnya fardu, (seperti shalat fardu) dan kadang kala hukumnya sunnah.
Ridha atas ketentuan Allah SWT dengan diam dari ucapan-ucapan yang terkesan menyalahkan takdir adalah fardu. Bila sikap ini disertai dengan pengendalian nafsu dan usaha meredamnya, maka ini adalah suatu keutamaan. Lebih utama lagi apabila hal ini dibarengi dengan kelapangan hati atas segala takdir-Nya.
Segala perbuatan dosa berupa maksiat, kemakruhan, atau meninggalkan kewajiban sesungguhnya berlangsung atas ikhtiar hamba. Oleh karena itu hendaknya ia ridha, mengingat perbuatan itu pada hakikatnya adalah takdir Allah SWT. Ia juga mesti membenci perbuatan itu mengingat perbuatan itu tidak disukai dan dilarang Allah SWT. Pada akhirnya, hamba tadi harus menyesali dosa-dosanya karena menentang perintah Allah SWT serta menjerumuskan diri ke dalam siksa-Nya.
Sabar dan syukur adalah dua tiang yang menyangga agama. Bangunan agama takkan pernah lepas dari dua penyangga itu. Tiada perbuatan taat atau meninggalkan maksiat melainkan didasari atas kesabaran. Barangsiapa memohon pertolongan kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh, maka niscaya Allah SWT akan menolongnya. Barangsiapa bertawakal kepada Allah SWT semata, maka Allah SWT akan mencukupinya. Barangsiapa melupakan Allah SWT, maka Allah SWT akan membuatnya lupa pada dirinya sendiri.
Merenung
Di setiap keadaan, seorang hamba haruslah memiliki tiga hal yang menjadi kunci keharmonisan dalam kehidupan beragama: Pertama, niat. Setiap orang seharusnya berbuat atau tidak berbuat hanya demi Allah SWT semata. Perasaan hatinya harus jujur dalam hal ini. Ia harus menjaga niat itu hingga selesainya amal. Perbuatan-perbuatan mubah hendaknya diniati untuk menjaga diri dari dosa, melaksanakan hak, memperkuat diri untuk ketaatan, menyegarkan pikiran dan lain sebagainya. Ada pun niat di dalam melakukan kemaksiatan, sungguh tidak bermanfaat sama sekali.
Kedua, merenungi keajaiban-keajaiban ciptaan Allah SWT di semesta langit dan bumi-Nya yang berwujud kerajaan-kerajaan dan planet-planet, terang dan gelap, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bebatuan, serta segala yang bisa dijangkau panca indera manusia. Ada pun ciptaan-ciptaan Allah SWT yang tak terjangkau panca indera manusia sesungguhnya lebih banyak dan lebih luas. Seorang hamba yang muslim mestinya merenungi semua itu beserta hikmah-hikmah lembut yang tersirat di dalamnya. Betapa sempurna semua ciptaan Allah SWT. Tiada cacat setitik pun di dalam ciptaan-Nya yang begitu banyak terhampar dan terurai ke dalam berbagai jenis dan rupa. Renungkanlah semua itu di setiap detik kehidupan anda agar anda benar-benar meyakini bahwa sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Tiada sesuatu pun yang menyerupai Allah SWT. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Renungkan pula perihal dekatnya ajal. Sesungguhnya ajal adalah perkara yang tersembunyi, dan ia senantiasa datang dengan tiba-tiba tanpa memperhitungkan usia. Ketika ajal tiba, penyesalan manusia sungguh tiada berguna. Setiap detik dari kehidupan manusia bakal harus diperhitungkan. Apabila waktu-waktunya dipergunakan untuk ketaatan, maka ia bakal menuai pahala kelak. Sebaliknya, apabila waktu-waktu yang pernah dimilikinya dibuang percuma, maka ia bakal merasakan penyesalan yang panjang. Betapa banyak manusia yang berhasil meraih keinginan duniawi akan tetapi raihan itu seolah sia-sia manakala ajal menjemputnya.
Ketiga, seyogyanya seorang hamba muslim mencari dunia hanya sebatas kebutuhan bagi dirinya serta orang-orang yang ditanggungnya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal. Ia harus memiliki sifat qanaah (merasa cukup dan menerima) karena orang yang mengambil dunia melebihi kebutuhannya, pada hakikatnya membinasakan dirinya sendiri tanpa sadar.
Orang yang beruntung adalah orang yang memahami hakikat maut sebagai pintu menuju akhirat. Manusia seperti ini sadar bahwa tumpukan dunia akan berbahaya lantaran kehalalannya berujung hisab dan keharamannya berakibat siksa. Orang orang yang demikian ini akan lebih menggampangkan dunia dan merasa cukup dengan dunianya, layaknya seorang musafir yang membatasi diri dengan perbekalan. Oleh karena itu, seorang hamba muslim hendaknya berzuhud bila mampu, atau ber-qanaah, atau paling tidak bersabar…(*) 

sumber: forsansalaf.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar