Selasa, 28 Februari 2017

Mengenai Dosa dan Taubat

Mayoritas ulama Ahlu Sunah membagi dosa menjadi dua; dosa kecil dan dosa besar. Berbeda dengan aliran sesat Murjiah yang berpendapat semua dosa adalah kecil selama ia beragama Islam. Berbeda pula dengan aliran Khawarij yang menganggap semua dosa adalah besar dan mengkafirkan pelaku dosa-dosa besar seperti pembunuh dan pezina.

Hukum Wanita Haid Mengirimkan Fatihah Untuk Orang Tua

PERTANYAAN :
Mau bertanya ustad, begini apakah boleh orang yang sedang haid mengirim Al- Fatehah kepada orang tuanya yang sudah meniggal?

Senin, 27 Februari 2017

Jangan Ragu Mengangkat Suara Bila Berdoa

Allah SWT Maha Mendengar, tapi mengapa kita perlu mengangkat suara kala berdoa dan berzikir?
Allah SWT Maha Mengetahui, tapi mengapa kita dianjurkan berdoa ketika kita mempunyai hajat?

Minggu, 26 Februari 2017

Hukum Masturbasi

Assalamualaikum Wr Wb
Kepada : Forsan Salaf
Saya pernah ngobrol2 dengan teman masalah hubungan suami istri. Salah satu teman saya membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa  “perempuan lebih dapat merasakan kenikmatan hubungan seks dengan menggunakan alat seks (vibrator)”. Pertanyaan kami adalah bagaimana hukumnya? dan bagaimana hukumnya perempuan masturbasi tetapi dengan suaminya?
Sukron, Wassalamuálaikum Wr Wb

Pengaruh Dahsyat Pergaulan

Kalam Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi
Akhir-akhir ini pergaulan yang salah disinyalir sebagai faktor utama penyebab meningkatnya tindak kriminalitas dan kerusakan moral di tengah-tengah masyarakat. Maka tidak ada salahnya apabila kita menyimak analisa Habib Idrus bin Umar Alhabsyi mengenai pengaruh pergaulan terhadap baik buruknya kepribadian seseorang berikut;

Sabtu, 25 Februari 2017

Salaf Sebagai Cermin Kehidupan

Tidak dapat dipungkiri lagi, kita saat ini berada di zaman yang mana nilai-nilai moral dan agama sudah terkikis, di zaman yang perbuatan dosa sudah menjandi konsumsi sehari-hari, di zaman yang orang sudah semakin malu untuk menuntut ilmu agama dan enggan untuk melakukan kebaikan dan ketaatan.

Jumat, 24 Februari 2017

Dimanakah Letak Ilmu Yang Bermanfaat?

Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi yang kita kenal sebagai penyusun kitab  Maulid Simthud Duror, memiliki kepedulian tinggi dan amat bangga terhadap para penuntut ilmu.

Hukum Membunuh Hewan Untuk Eksperimen

Pertanyaan:
Bagaimana hukum mengadakan eksperimen atau percobaan dengan memanfaatkan hewan seperti tikus, kera, babi, kelinci dan lainnya, dalam proses pemberian pelajaran teori tentang sebab penyakit dan cara penyembuhannya pada Fakultas Kedokteran yang mengakibatkan pembunuhan yang disengaja terhadap sejumlah besar hewan yang tidak dihormati agama?

Kamis, 23 Februari 2017

Menjaga Lisan Itu Penting

Akhir-akhir ini terjadi kegaduhan di negara kita hanya karena hal yang dianggap sepele yaitu kesalahan ucap dan omongan tidak pantas yang dikatakan oleh berbagai macam kalangan.

Rabu, 22 Februari 2017

Cahaya Ilahi di Bulan Ramadan

Rasanya tak berlebihan bila kita sebut bulan Ramadan ini sebagai bulan penuh cahaya. Coba kita simak firman Allah di Surat An-Nur: 35,

Senin, 20 Februari 2017

Bekerja di Luar Negeri Apakah Wajib Shalat Jum'at?

Pertanyaan :

Apa orang yang bekerja di Malaysia bertahun-tahun masih dihukumi musafir.?
Bagaimana hukumnya tidak Shalat Jum’at selama di Malaysia, sedangkan kita bermadzhab kepada Imam Syafi’i.?

Patungan Untuk Qurban, Sahkah?

Pertanyaan :
Ustadz, mau tanya. Sahkah berkurban dari uang patungan?

Takjubnya Malaikat Kepada Muslim Yang Husnul Khotimah

Kebahagian manusia yang abadi ditentukan di penghujung umurnya, yaitu meninggal dalam keadaan beriman kepada Allah SWT. Meninggal dengan membawa iman adalah modal utama untuk mendapatkan kenikmatan yang tiada tara, yakni surga:

Wasiat Kaum Shalihin

Ringkasan ceramah Habib Taufiq bin Abdul Qodir Assegaf di Masjid Jami’ Assegaf Solo, Ahad, 19 Februari 2017.
Wasiat Dzunnun Al Mishriy

Mimpi Yang Bebuah Kemanangan

Dalam satu majlis, Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi pernah mengisahkan salah satu karomah Syekh Abul Hasan as-Syadzili sebagai berikut:

Sabtu, 18 Februari 2017

Hisab Merupakan Bagian Dari Adzab

Tatkala hari kiamat tiba, seluruh manusia dibangkitkan dan dikumpulkan di satu tempat. Di situ mereka dimintai pertanggung-jawaban atas semua amal yang telah mereka perbuat selama hidup di dunia.

Tinggal Di Rumah Adalah Fitrah Seorang Muslimah

Di antara perintah Allah kepada wanita muslimah adalah perintah untuk tinggal dan menetap di rumah-rumah mereka. Sebuah perintah yang banyak mengandung hikmah dan maslahat. Tidak hanya bagi wanita itu sendiri, namun juga mengandung kemaslahatan bagi keluarganya.
 Wahai saudariku muslimah, para istri ataupun gadis remaja..
 Mari kita sama-sama merenungkan firman Allah SWT berikut ini :
 وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
 “Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab: 33).
 Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya  menjelaskan bahwa makna ayat di atas artinya tetaplah di rumah-rumah kalian dan janganlah keluar tanpa ada kebutuhan.
 Yang perlu dipahami bahwa perintah dalam ayat di atas tidak hanya terbatas pada istri-istri nabi saja, tetapi juga berlaku untuk seluruh kaum wanita muslimah. Imam Ibnu Katsir mengatakan :
 “Semua ini merupakan adab dan tata krama yang Allah Ta’ala perintahkan kepada para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun kaum wanita umat ini seluruhnya sama juga dengan mereka dalam hukum masalah ini.”
 Bahkan dalam hal ibadahpun seorang wanita dianjurkan untuk melaksanakannya di rumah mereka masing-masing.
Dari Ummu Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ
“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah diam di rumah-rumah mereka.” (HR. Ahmad 6/297)
Masjid merupakan tempat ibadah akan tetapi ibadahnya seorang wanita di rumahnya adalah pengamalan dari perintah Allah SWT agar wanita diam di rumah.
Saudariku muslimah, perhatikanlah..
Perintah untuk tinggal di dalam rumah ini datang dari Dzat Yang Maha Memiliki Hikmah, Dzat yang lebih tahu tentang perkara yang memberikan maslahat bagi hamba-hamba-Nya. Ketika Dia menetapkan wanita harus berdiam dan tinggal di rumahnya, Dia sama sekali tidak berbuat zalim kepada wanita, bahkan ketetapan-Nya itu sebagai tanda akan kasih sayang-Nya kepada para hamba-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسئولة عنهم،
“….Adapun seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka.”
(HR. Bukhari 893 dan Muslim 1829).
Seorang istri merupakan pemimpin yang menjaga di rumah suaminya dan akan ditanya tentang penjagaanya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik, seperti dalam memasak, menyiapkan minum seperti kopi dan teh, serta mengatur tempat tidur.
Seorang Istri juga memiliki tanggung jawab terhadap anak-anaknya dalam mengurus dan memperbaiki urusan mereka, seperti dalam hal memakaikan pakaian, melepaskan pakaian yang kotor, merapikan tempat tidur, dan lain-lain. Setiap wanita akan ditanya tentang semua itu. Dia akan ditanya tentang urusan memasak, dan  ia akan ditanya tentang seluruh apa yang ada di dalam rumahnya.
Dengan demikian, tugas seorang istri selaku pendamping suami dan ibu bagi anak-anaknya adalah memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya serta anak-anaknya.
Wahai saudariku wanita muslimah..
Janganlah kalian tertipu dengan teriakan orang-orang yang menggembar-gemborkan isu kesetaraan gender sehingga timbul rasa minder terhadap wanita-wanita karir dan merasa rendah diri dengan menganggur di rumah. Padahal banyak pekerjaan mulia yang bisa dilakukan di rumah.
Di rumah ada suami yang harus dilayani dan ditaati. Ada juga  anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya.
Ada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan yang mulia dan berpahala di sisi Allah Ta’ala. Para wanita muslimah harus ingat bahwa kelak  pada hari kiamat mereka akan ditanya tentang amanah tersebut yang dibebankan kepadanya.
Diantara semua pekerjaan dan tugas seorang wanita, tugas yang paling penting adalah mendidik anak-anaknya. Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktifitas di luar rumah, sangat berpengaruh besar pada perkembangan jiwa dan pendidkan mereka. Terlebih jika keperluan anak dan suaminya justru diserahkan kepada *pembantu*. Jika demikian, lalu bagaimanakah tanggung jawab wanita untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?
Ingat, Bagi seorang ibu, mendidik anak-anaknya bukanlah sebuah tanggung jawab yang ringan. Ibu harus bersusah payah mendidiknya supaya menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah.
Jika kita lihat saat ini betapa banyak generasi shalih dan shalihah muncul dari tarbiyah yang dilakukan oleh para wanita. Melalui tarbiyah yang baik mereka mencetak generasi umat Islam yang shalih dan shalilah. Hal itu bisa terwujud jika mereka langsung terjun untuk mendidik anak-anak mereka.
Namun kita saksikan pula, betapa banyak anak-anak yang berakhlak bejat yang tidak pernah mendapat pendidikan di rumahnya. Hal itu disebabkan orang tua tidak mendidik mereka secara langsung.
Peran orang-tua yang dominan dalam mendidik anak berada di pundak para wanita, karena laki laki mempunyai tugas lain yaitu untuk mencari nafkah.  Dengan demikian, pendidikan di rumah  merupakan salah satu tanggung  jawab yang besar bagi seorang muslimah.
Dengan tetap tinggal di rumahnya, wanita juga bisa mendapatkan pahala yang banyak.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia mengatakan :
جئن النساء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلن: يا رسول الله، ذهب الرجال بالفضل والجهاد في سبيل الله تعالى، فما لنا عمل ندرك به عمل المجاهدين في سبيل الله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من قعد -أو كلمة نحوها -منكن في بيتها فإنها تدرك عمل المجاهدين  في سبيل الله”.
“Seorang wanita datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata : “Wahai Rasulullah, laki-laki memiliki keutamaan dan mereka juga berjihad di jalan Allah. Apakah bagi kami kaum wanita bisa mendapatkan amalan orang yang jihad di jalan Allah? Rasulullah bersabda : “ Brangsiapa di antara kalian yang tinggal di rumahnya  maka dia mendapatkan pahala mujahid di jalan Allah.”
Wahai saudariku muslimah, renungkanlah!
Betapa banyak pahala yang melimpah meskipun kalian tetap tinggal di rumah. Betapa banyak pula tugas-tugas mulia yang bisa dilakukan di dalam rumah. Melaksanakan ibadah di rumah, mengurus rumah tangga, mendidik anak menjadi genarasi shalih-shalihah, dan kegiatan lain yang bernilai pahala. Tinggalkanlah kebiasaan keluar rumah untuk sesuatu yang tidak penting dan kurang bermanfaat.
Ketahuilah, Tidak ada profesi yang lebih mulia bagi wanita selain tinggal di rumahnya untuk menjadi ibu rumah tangga..
_Wallahua’lam_
Semoga bermanfaat..

sumber: forsansalaf.com

Bekerja Pada Pelaku Bunga Riba

Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya apabila kita bekerja (misal memperbaiki rumah) pada seseorang yang nyata-nyata orang tersebut membungakan uang? Sukron atas jawabannya.

Jawaban :
Hukumnya adalah sama seperti bermu’amalah dengan seorang yang kebanyakan hartanya haram, perinciannya sebagai berikut:
* Haram, jika mengetahui dengan yakin bahwa upah yang diterima dari orang tersebut adalah hasil riba.
* Makruh, jika ragu-ragu apakah yang uang yang ia dapat dari hasil riba ataukah dari penghasilan lain yang halal.
Namun menurut pendapat Imam Al-Ghozali hukumnya haram secara mutlak. Baik yakin atau ragu.
Oleh karena itu, jika ada pekerjaan yang lain maka itu lebih selamat.
Referensi:
إعانة الطالبين – )ج 3 / ص 21(
)قوله: لآكل الربا) هو متناوله بأي وجه كان، واعترض بأنه إن أراد بالربا المعنى اللغوي – وهو الزيادة – فلا يصح، لقصوره على ربا الفضل.وأيضا يقتضي أن اللعن على آكل الزيادة فقط، دون باقي العوض.وإن أريد بالربا العقد، فغير ظاهر، لانه لا معنى لاكل العقد وأجيب باختيار الثاني، وهو على تقدير مضاف، والتقدير: آكل متعلق الربا، وهو العوض.اه.بجيرمي.(قوله: وموكله) هو الدافع للزيادة.(قوله: وكاتبه) أي الذي يكتب الوثيقة بين المرابين، وأسقط من الحديث: الشاهد، وكان عليه أن يصرح به
تحفة المحتاج في شرح المنهاج – )ج 41 / ص 275(
)فَرْعٌ ) يُسَنُّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَحَرَّى فِي مُؤْنَةِ نَفْسِهِ وَمُمَوِّنِهِ مَا أَمْكَنَهُ فَإِنْ عَجَزَ فَفِي مُؤْنَةِ نَفْسِهِ وَلَا تَحْرُمُ مُعَامَلَةُ مَنْ أَكْثَرُ مَالِهِ حَرَامٌ وَلَا الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا صَحَّحَهُ فِي الْمَجْمُوعِ وَأَنْكَرَ قَوْلَ الْغَزَالِيِّ بِالْحُرْمَةِ مَعَ أَنَّهُ تَبِعَهُ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ

الشَّرْحُ
)قَوْلُهُ : يُسَنُّ لِلْإِنْسَانِ إلَخْ ) عِبَارَةُ الْمُغْنِي قَالَ فِي الذَّخَائِرِ إذَا كَانَ فِي يَدِهِ حَلَالٌ وَحَرَامٌ أَوْ شُبْهَةٌ وَالْكُلُّ لَا يَفْضُلُ عَنْ حَاجَتِهِ قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ يَخُصُّ نَفْسَهُ بِالْحَلَالِ فَإِنَّ التَّبِعَةَ عَلَيْهِ فِي نَفْسِهِ آكَدُ ؛ لِأَنَّهُ يَعْلَمُهُ وَالْعِيَالُ لَا تَعْلَمُهُ ثُمَّ قَالَ وَاَلَّذِي يَجِيءُ عَلَى الْمَذْهَبِ ، أَنَّهُ وَأَهْلُهُ سَوَاءٌ فِي الْقُوتِ وَالْمَلْبَسِ دُونَ سَائِرِ الْمُؤَنِ مِنْ أُجْرَةِ حَمَّامٍ وَقِصَارَةِ ثَوْبٍ وَعِمَارَةِ مَنْزِلٍ وَفَحْمِ تَنُّورٍ وَشِرَاءِ حَطَبٍ وَدُهْنِ سِرَاجٍ وَغَيْرِهَا مِنْ الْمُؤَنِ ا هـ .
)قَوْلُهُ وَلَا تَحْرُمُ إلَخْ ) عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَلَوْ غَلَبَ الْحَرَامُ فِي يَدِ السُّلْطَانِ قَالَ الْغَزَالِيُّ حَرُمَتْ عَطِيَّتُهُ وَأَنْكَرَ عَلَيْهِ فِي الْمَجْمُوعِ وَقَالَ مَشْهُورُ الْمَذْهَبِ الْكَرَاهَةُ لَا التَّحْرِيمُ مَعَ ، أَنَّهُ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ جَرَى عَلَى مَا قَالَهُ الْغَزَالِيُّ ا هـ
تحفة المحتاج في شرح المنهاج – )ج 29 / ص 148(
)فَرْعٌ ) قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي حَامِدٍ وَأَقَرَّهُ يُكْرَهُ الْأَخْذُ مِمَّنْ بِيَدِهِ حَلَالٌ وَحَرَامٌ كَالسُّلْطَانِ الْجَائِرِ وَتَخْتَلِفُ الْكَرَاهَةُ بِقِلَّةِ الشُّبْهَةِ وَكَثْرَتِهَا ، وَلَا يَحْرُمُ إلَّا إنْ تَيَقَّنَ أَنَّ هَذَا مِنْ الْحَرَامِ الَّذِي يُمْكِنُ مَعْرِفَةُ صَاحِبِهِ أَيْ : لِيَرُدَّهُ عَلَيْهِ ، وَإِلَّا فَبَدَلَهُ

Qodho Shalat

PERTANYAAN
Dari : yoyok wey
Kota : pacitan
Isi Pertanyaan :
Assalamu ‘alaikum. Seorang wanita sakit slm 6 bln lalu mninggal, selama itu ia mninggalkan shalat 5 waktu. Bolehkah teman2nya “mmbayar hutang” shalatnya? Bgmn tehnis pelaksanaanya? Bolehkan dilakukan oleh banyak orang? Trm kasih. Wassalam
Jawaban :
Waalaikum salam,,,
Pertanyaan yang baik sekali.
Jika kita menelaah literatur salaf, ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini.
Pendapat terkuat menyatakan tidak perlu dan tidak bisa diqodhoi dengan sudut pandang bahwa shalat adalah ibadah mahdhoh yang teknis pelaksanaannya tidak bisa diwakilkan. Maka ketika yang bersangkutan meninggal pun tidak diperkenankan bagi yang lain untuk mengqodhoi.
Pendapat kedua menyatakan bisa diqodhoi oleh keluarganya disamakan dengan diperbolehkannya qodho puasa. Inilah yang diamalkan oleh Imam Subkiy ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal.
Pendapat ketiga menyatakan bisa pula diganti dengan membayar fidyah sebanyak satu mud (sekitar 7-8 ons) per shalat yang ia tinggalkan.
Nah jika kita mau mengqodhoi maka itu boleh menurut pendapat kedua yang diamalkan oleh Imam Subkiy. Maka teknis pelaksanaannya adalah jumlah shalat yang ditinggalkan dibagi rata kepada keluarga yang siap membantu qodhonya. Shalat tersebut diniatkan untuk mengqodhoi shalat orang yang telah meninggal. Nah jika ada orang lain yang bukan keluarganya maka harus seizin dari keluarganya tersebut. Wallohu A’lam
Referensi
)فائدة ) من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية وفي قول كجمع مجتهدين أنها تقضى عنه لخبر البخاري وغيره ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا وفعل به السبكي عن بعض أقاربه ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي إن خلف تركة أن يصلى عنه كالصوم وفي وجه عليه كثيرون من أصحابنا أنه يطعم عن كل صلاة مدا وقال المحب الطبري يصل للميت كل عبادة تفعل واجبة أو مندوبة

Kamis, 16 Februari 2017

Nikah Tanpa Saksi


Assalamu’alaikum
1. Bagaimana hukum nya seorang gadis menikah tanpa saksi anggota keluarganya krn  berada di LN ?
2. Bagaiamana status hukum fikih si naib atau yang menikahkan apa boleh / termasuk dosa apa tidak ?
Jawab :
Waalaikum salam warrohmah
Syarat sahnya nikah adalah adanya wali dan 2 orang saksi. Suatu pernikahan tanpa kehadiran seorang wali atau wakil dari wali perempuan dan  2 orang saksi yang adil adalah tidak sah. Sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubair :.

عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضى الله عنهما قال:  قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْل. رواه ابن حبان.

ٍDiriwayatkan dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Tidak sah pernikahan tanpa wali dan  dua  orang saksi yang adil “ HR. Ibnu Hibban
Dalam persyaratan dua orang saksi, tidak disyaratkan harus dari pihak keluarga (baik keluarga laki laki atau perempuan). Akan tetapi dua orang saksi itu bisa dari pihak keluarga ataukah orang lain selama memenuhi persyaratan sebagai seorang saksi yaitu harus orang laki laki, muslim, baligh, berakal, merdeka, adil, dll. Jika salah satu dari persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka pernikahannya tidak sah. [1]
Dalam persyaratan wali nikah, harus mendahulukan wali khos daripada wali ‘am. Wali khos disini yaitu kerabat laki-laki dari perempuan yang berhak mendapat ashabah (hak sisa) dalam warisan secara berurutan yaitu : bapak, kakek (dari sisi bapak), saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung lalu sebapak, paman (saudara bapak sekandung lalu sebapak), anak laki-laki paman dan seterusnya. Sedangkan wali ‘am dari seorang perempuan adalah hakim atau sulthan daerah setempat. [2]
Seorang wali ‘am (hakim agama setempat) baru bisa menikahkan seorang perempuan dan akad nikahnya akan sah, jika tidak ada wali khosnya, baik karena meninggal dunia atau jauh dari tempat perempuan tersebut yang mencapai 2 marhalah (± 82 KM). Seperti berada di luar negeri, maka diperbolehkan untuk menikahkannya dengan memenuhi persyaratan harus menikahkan dengan laki-laki yang kufu’ (sederajat) dengan perempuan tersebut : [3]
Boleh saja mengangkat seseorang yang bukan hakim agama untuk menempati posisi hakim (muhakkam) untuk menikahkannya, dengan persyaratan sebagai berikut :
  1. Tidak ada hakim setempat, atau ada tapi memungut biaya kepada calon mempelai [4]
  2. Jarak antara perempuan tersebut dengan walinya mencapai 2 marhalah (± 82 KM)
  3. Harus seorang yang kompeten dalam ilmu fiqh (khususnya tentang akad nikah) dan layak untuk menjadi seorang hakim, kecuali jika tidak ditemukan maka boleh mengangkat orang yang adil.
  4. Mewakilkan setiap dari calon suami dan calon istri untuk menjadi muhakkam, lalu calon istri memberikan izin kepada muhakkam tersebut untuk menikahkannya dengan calon suaminya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa seseorang yang telah ditunjuk untuk menikahkan, tapi tanpa memenuhi persyaratan nikah seperti tanpa wali atau saksi, maka tidak diperbolehkan untuk menikahkan walaupun dia seorang hakim. Seorang hakim ataupun muhakkam dituntut pula untuk memenuhi persyaratan  dalam pernikahan yang akan dilakukan. Hal ini sangat penting demi menjaga agar pernikahan itu sah dan menjadi halal, sehingga pelakunya tidak terjerumus ke perzinaan yang tidak mereka sadari akibat akad nikah yang salah dan tidak sah. [5]

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  – (ج 43 / ص 452) [  ] 1

( شرط الشاهد ) أوصاف تضمنها قوله ( مسلم حر مكلف عدل ذو مروءة غير متهم ) ناطق رشيد متيقظ فلا تقبل شهادة أضداد هؤلاء ككافر ولو على مثله ؛ لأنه أخس الفساق وخبر { لا تقبل شهادة أهل دين على غير دينهم إلا المسلمون فإنهم عدول على أنفسهم وعلى غيرهم } ضعيف وقوله تعالى { أو آخران من غيركم } أي : من غير عشيرتكم أو منسوخ بقوله { وأشهدوا ذوي عدل منكم } ولا من فيه رق لنقصه ومن ثم لم يتأهل لولاية مطلقا ولا صبي ومجنون إجماعا ولا فاسق لهذه الآية وقوله { ممن ترضون } وهو ليس بعدل ولا مرضي واختار جمع منهم الأذرعي والغزي وآخرون قول بعض المالكية أنه إذا فقدت العدالة وعم الفسق قضى الحاكم بشهادة الأمثل فالأمثل للضرورة ورده ابن عبد السلام بأن مصلحته يعارضها مفسدة المشهود عليه ولأحمد رواية اختارها بعض أئمة مذهبه أنه يكفي ظاهر الإسلام ما لم يعلم فسقه ولا غير ذي مروءة ؛

[2] تحفة المحتاج في شرح المنهاج  – (ج 29 / ص 470)

( وأحق الأولياء ) بالتزويج ( أب ) ؛ لأنه أشفقهم ( ثم جد ) أبو الأب ( ثم أبوه ) ، وإن علا لتميزه بالولادة ( ثم أخ لأبوين ، أو لأب ) أي ثم لأب كما سنذكره لإدلائه بالأب ( ثم ابنه ، وإن سفل ) كذلك ( ثم عم ) لأبوين ثم لأب ( ثم سائر العصبة كالإرث )

عمدة المفتى والمستفتى 3/89

فان امتنع من مباشرة العقد بنفسه والتوكيل زوجها القاضى ولا يجوز لها ان تولى امرها خالها او غيره ن الولي اذا عضل او تعذرت مراجعته لخوف فتنة انتقلت الولاية للسلطان والقاضىوالمراد بالقاضى حيث اطلق من ولاه الامام فى تلك الناحية , اما من يتعاطى فصل الحصومات من غير تولية من الامام فحكمه كاحاد الناس وحيث خلت الجهة من حاكم مولى من الامام الاعظم فللمرأة ان تولي امرها عدلا حرا توليه هي وخاطبها امرها ليزوجها منه .

عمدة المفتى والمستفتى 3/98

قال فى التحفة فى مبحث اولياء النكاح السلطان هنا وفيما مر ويأتى من شملتهما ولايته عاما او خاصا كالقاضى والمتولى عقود الانكحة قال شيخنا فالمراد بالسلطان فى كلامهم متولى احكام تلك البلاد ولو متغلبا كما يفيده كلام الاشخر فى فتاويه.

[3] بغية المسترشدين / 206

(مسئلة ش) غاب وليها مرحلتين من بلدها فأذنت للحاكم يعني الذي شمل حكمه لبلدها وان لم يكن بها صح وان قرب من محل الولي او كانا في بلد واحدة بل وان كان القاضي المذكور ابعد من محل الولي الى المرأة لأن العلة وهي غيبة الولي التي هي شرط لثبوت ولاية الحاكموجدت ولا عبرة بالمشقة وعدمها

عمدة المفتى والمستفتى 3/97

قال شيخنا فان لم يثبت وجود القريب او كان لكن بينه وبين بلد العقد مرحلتان فاكثر فالنكاح صحيح بشرط ان يكون الزوج كفؤا للمرأة  فان لم يعرف انه كفء او غير كفء  فالنكاح باطل كما يفيده كلامهم. الى ان قال : قال فى التحفة وعلى القول الاول اى الاصح وهو ان المرأة اذا طلبت من القاضى ان يزوجها بغير كفء لم يجبها فهل لها أن تحكم عدلا ويزوجها حينئذ للضرورة او يمتنع عليه كالقاضي محل النظر, ولعل الاول أقرب إن لم يكن  في البلد حاكم يرى ذلك, لئلا يؤدي ذلك إلى فسادها ولانه ليس كالنائب, ثم رأيت جمعا بحثوا أنها لولم تجد كفأ وخافت العنت لزم القاضي إجابتها قولا واحدا للضرورة, كما أبيحت الامة لخائف العنة وهو متجه مدركا, والذي يتجه نقلا ما ذكرته أنه إن كان في البلد حاكم يرى تزويجها من غير الكفوء تعين , فإن فقد ووجدت عدلا تحكمه ويزوجها تعين, فإن فقد تعين ما بحثه هؤلاء . وقوله : ولعل الاول أقرب جرى عليه الرملي في النهاية .

[4] فتح المعين – (ج 3 / ص 365)

قال شيخنا: نعم إن كان الحاكم لا يزوج إلا بدراهم، كما حدث الآن – فيتجه أن لها أن تولي عدلا مع وجوده وإن سلمنا أنه لا ينعزل بذلك بأن علم موليه ذلك منه حال التولية.انتهى.

مجموع فتاوى السيد عبد الله بن عمر بن يحي / 279

(مسئلة) ما قولكم في بلدة ليس فيها حاكم ولا قاض والولي الأقرب غائب، هل يجوز للولي الأبعد ان ينكجها او لها ان تحكم شخصا فان قلتم لها ان تحكم عدلا فكيف كيفية التحكيم ولفظه وصيغته وهل يجوز لها ان توكل غيرها ؟

(الجواب) اذا غاب الولي مسافة القصر وهو اهل للولاية انتقلت الولاية الى الحكم لا للأبعد فان وجدت حاكما في بلدها ولو حاكم ضرورة لم يجز لها ان تحكم الا فقيها يصلح للقضاء، وان لم في بلدها حاكم فان كان في محل بينه وبينها اقل من مرحلتين لم يصح لها ان تحكم الا فقيها يصلح للقضاء ايضا وان فقدت الحاكم في بلدها وكل محل بينها وبينه مرحلتان فان كان في البلد او في المرحلتين فقيه صالح للقضاء لم يجز لها ان تحكم غيره وان يكن فقيه صالح لذلك جاز لها ان تحكم عدلا.

هذا حاصل المعتمد في هذه المسئلة من كلام طويل لهم فيها . ةاما صيغة التحكيم  فهي ان يقول كل واحد من الزوجين للمحكم ” حكّمتك ان تزوجني من فلان ” ويسمى صاحبه ويقول المحكم ” قبلتُ التحكيم ” ةان لم يقل ذلك ولم يردّ صح على خلاف قوي فيه، ثم بعد تحكيمهما وقبوله تأذن المرأة له في تزويجها من الرجل المحكم ويجوز التوكيل في التحكيم كسائر العقود والله اعلم.

[5] بغية المسترشدين / 207

(مسئلة) اتى رجل الى الحاكم يريد التزوج بامرأة وادعى انها اذنت لوليها الغائب وان وليها وكل الحاكم ةفي ذلك لم يصح تزويج الحاكم الا بعد ثبوت ذلك على المعتمد، نعم ان كان وايها بمسافة القصر وهي بمحل ولاية الحاكم واذنت لع صح تزويجه فان ةطئ 

حيث قلنا ببطلانه قشبهة كما لو زوجها بلا ولي او شهود


sumber: forsansalaf.com

Resep Hidup Penuh Bahagia



Kalam Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi
Qana’ah adalah suatu sikap merasa cukup dengan pembagian rizki yang diberikan Allah, dan menyandarkan kebutuhan hanya kepada Allah SWT. Seorang yang qana’ah akan memohon hanya kepada-Nya, tidak kepada yang lain. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad bersyair:
Andai dirimu ridha dengan bagian yang dijatahkan kepadamu, niscaya dirimu hidup penuh kenikmatan.
Namun bila dirimu tiada pernah ridha, maka dirimu senantiasa dalam kegundahan.
Qana’ah adalah awal dari sikap ridha. Setiap orang yang memiliki sikap qana’ah pasti mendapatkan bagian dari ridha. Sikap qana’ah akan tumbuh bila seseorang cermat dalam berinfak serta tidak berfoya-foya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Orang yang cermat berbelanja akan dicukupkan kebutuhannya oleh Allah SWT, sedangkan orang yang mubazir akan difakirkan oleh Allah SWT.”
Seseorang akan memiliki sikap qana’ah bila ia benar-benar pasrah pada pembagian Allah SWT. Dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT berfirman:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS;Hud ayat 6)
Sikap pasrah semacam ini adalah ilmu, cermat berinfak adalah amal. Sementara itu, pondasi qana’ah adalah kesabaran, pendek angan, memahami bahaya kekayaan dan keutamaan qana’ah. Dalam syair yang lain, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad berpesan:
Sungguh, qana’ah adalah harta yang takkan pernah punah.
Terapkanlah saudaraku, moga engkau beroleh petunjuk. Hidup dengan qana’ah itu asyik.
Hiduplah dengan qana’ah tanpa rasa rakus dan tamak.
Engkau akan mulia, berwibawa dan bermartabat luhur.
Maka jelaslah bahwa qana’ah adalah perilaku menepis rasa rakus dan tamak pada dunia. Ada pun pendek amal adalah kesadaran hati akan begitu dekatnya mati dan segeranya masa peralihan dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad telah mengulas permasalahan ini dengan begitu panjang di dalam karyanya, An-Nashaihud Diniyah, begitu pula Imam Ghazali di dalam kitabnya, Minhajul Abidin.
Suatu kali Baginda Rasul SAW ditanya mengenai siapa manusia yang paling pandai dan paling mulia. Beliau menjawab, “Yang paling sering mengingat mati dan yang paling semangat mempersiapkan diri untuk mati. Merekalah manusia yang pandai. Mereka melenggang dengan kemuliaan dunia dan akhirat.” Seorang sufi bernama Rabi’ bin Khaitsam pernah berkata, “Andai ingat mati itu terpisah dari hatiku, niscaya hatiku bakal rusak.” Baginda Rasul SAW pernah bersabda, “Permulaan umat ini selamat berkat sikap yakin dan zuhud, sementara akhir umat ini hancur dikarenakan sikap bakhil dan panjang angan.” Beliau pernah berdoa, “Aku berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang bisa menghalangi amal yang baik.”
Sesungguhnya angan-angan yang dicela itu adalah angan-angan yang bisa menghambat perbuatan baik. Tidak semua angan-angan tercela. Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad menerangkannya dengan detail dalam kitab Nashaihud Diniyah. Angan-angan yang tercela muncul karena kebodohan, cinta dunia dan terlena dengan syahwat-syahwatnya. Penawar kebodohan semisal itu adalah perenungan yang sungguh-sungguh akan arti kematian. Manusia memang harus pandai merenungi kematian. Baginda Nabi SAW bersabda, “Cintailah orang yang kamu cintai, tapi ingatlah bahwa kamu bakal berpisah dengannya!”
Baitul Makmur
Cinta dunia bisa diobati dengan pengukuhan iman kepada Allah SWT dan hari akhir, serta kesadaran bahwa dunia itu fana, hina dan penuh kebencian. Tanda orang yang memiliki pendek amal adalah semangatnya yang tinggi untuk beramal ibadah dan senantiasa siap menyongsong kematian. Resapilah satu sabda Nabi SAW berikut ini, “Manfaatkanlah lima keadaan sebelum datangnya lima keadaan yang lain: masa mudamu sebelum tuamu; sehatmu sebelum sakitmu; kecukupanmu sebelum fakirmu; waktu luangmu sebelum kesibukanmu; hidupmu sebelum matimu.”
Malik bin Dinar kerap berbisik kepada dirinya sendiri, “Bergegaslah, sebelum perkara itu (maut) tiba!” Ia mengulang perkataan itu enam puluh kali dalam sehari. Ketika memberikan nasehat, ia seringkali berkata, “Segeralah! Segeralah! Bila nafasmu telah tertahan, maka segala amal kebajikan akan terputus darimu.” Ia kemudian membaca sepotong ayat Al-Quran:
19_84
“Karena sesungguhnya kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti.” (QS. maryam : 84)
Nafas ialah saat-saat yang lembut yang akan selalu mengiringi manusia sepanjang hidupnya. Sebagian kaum arifin menyebutkan bahwa di setiap satu jam manusia menarik nafas seribu kali. Jadi dalam sehari semalam ia lazim menarik dua puluh empat ribu nafas. Sebagian yang lain mengungkapkan bahwa dalam sehari terbesit tujuh puluh ribu lintasan hati di dalam sanubari, jumlah yang sama dengan banyaknya malaikat yang memasuki baitul makmur yang tak akan keluar lagi. Tidak diragukan lagi, hati kita adalah baitul makmur, rumah yang dimakmurkan, dengan kebaikan atau dengan keburukan.
Di antara orang-orang yang telah mencapai makrifat itu senantiasa berzikir sebanyak hitungan nafasnya setiap hari, yakni dua puluh empat ribu kali. Faedah ini telah aku terapkan. Meski hitungan nafas masing-masing orang tidak sama, namun kita tahu bahwa akhir hitungan itu adalah berhentinya nafas, terpisahnya keluarga dan masuknya jasad ke dalam kubur.
Nasehat Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi di atas disampaikan beratus tahun silam, namun tetap sangat mengena dengan situasi umat Islam sekarang ini. Umat Islam di era ini telah benar-benar larut ke dalam kecintaan kepada dunia. Cinta mereka begitu menggebu-gebu hingga tiada lagi yang tersisa di dalam benak mereka selain ambisi untuk menumpuk kekayaan, kehormatan, dan kenikmatan-kenikmatan sesaat. Mereka tak lagi mengingat kematian, sesuatu yang pasti memupuskan dunia dan mengantarkan mereka menuju kehidupan yang hakiki. Di manakah sikap qana’ah saat ini? Siapakah gerangan yang masih kuat berpegang pada sikap itu di tengah derasnya arus kehidupan materialistik yang mendera umat manusia…..? 

Sumber: forsansalaf.com

Selasa, 14 Februari 2017

Nikah Via Telepon


Assalamualaikum
Saya mau bertanya jika seorang perempuan mau menikah sang ayah meninggal dunia gimana susunan pemindahan pewalian ke saudara kandung apa ke saudara ayah perempuan dan gimana hukumnya perwalian lewat telepon genggam terima kasih atas jawabannya.
Ja’far Al-Aidrus (Kalsel)
Jawab :
Wali perempuan dalam pernikahan yaitu kerabat laki-laki perempuan yang berhak mendapat ashabah (hak sisa) dalam warisan. Secara berurutan dari yang paling dekat yaitu : ayah, kakek (dari sisi ayah), saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah sekandung), paman (saudara ayah seayah), anak laki-laki paman sekandung lalu anak laki-laki paman seayah dan seterusnya.[1]
Yang paling berhak untuk menjadi wali nikah yaitu yang memenuhi persyaratan sebagai wali dan yang terdekat sesuai urutan diatas. Jika yang lebih dekat tidak ada atau ada tapi tidak memenuhi persyaratan maka perwalian berpindah kepada yang lebih jauh. Jika seorang ayah telah meningal dunia, atau masih hidup tapi tidak memenuhi persyaratan seperti : beragama lain (bukan muslim) atau gila maka perwalian berpindah ke derajat dibawahnya yaitu kakek, tapi jika kakek juga tidak ada maka berpindah ke saudara laki-laki sekandung dan seterusnya sesuai urutan diatas.[2]
Jika dalam satu derajat terdapat lebih dari satu seperti antara para saudara laki-laki atau antara para paman, maka yang paling berhak untuk menjadi wali yaitu:
  • Jika pengantin perempuan memberikan izin kepada semua wali (seperti kepada semua saudara laki-lakinya) secara umum, maka yang melakukan akad nikah yaitu orang yang telah disepakati oleh semua wali walaupun bukan salah satu dari wali pengantin perempuan tersebut.
  • Jika pengantin perempuan memberikan izin kepada setiap wali yang sederajat secara khusus, maka boleh bagi setiap wali untuk melangsungkan akad nikah walaupun tanpa seizing dari wali yang lainnya. [3]
Adapun jika mendahulukan yang lebih jauh padahal yang lebih dekat dan memenuhi persyaratan masih ada, maka pernikahannya tidak sah,
Persyaratan seorang wali nikah yaitu : [4]
  • Beragama Islam, jika menjadi wali nikah dari seorang muslimah.
  • Baligh
  • Berakal
  • Merdeka (bukan seorang budak)
  • Adil dll
Hukum akad nikah dengan menggunakan telepon atau surat tidak sah karena tergolong Kinayah (tidak jelas dan masih memungkinkan maksud lainnya) sehingga dibutuhkan niat akad nikah. Hal ini tidak memungkinkan bisa disaksikan oleh orang yang hadir dalam pernikahan, karena niat termasuk urusan hati yang tidak nampak dengan kasat mata. Padahal termasuk persyaratan nikah yaitu adanya dua orang saksi yang bisa menyaksikan akad nikah tersebut. [5]
Oleh karena itu hukum pernikahan dengan cara ini tidak sah, kecuali jika perwakilannya saja maka sah, karena dalam akad Wakalah (perwakilan) boleh menggunakan Kinayah [6]

[1] المفتاح في النكاح /16-17

(الولي في النكاح واحق الأولياء بالتزويج)

اولى اللأولياء واحقهم بالتزويج الأب ثم الجد ابو الأب وان علا ثم الأخ الشقيق ثم ثم الأخ لأب ثم ابن الأخ الشقيق ثم ابن الأخ لأب وان سفل ثم العم الشقيق ثم العم لأب ثم ابن العم الشقيق ثم ابن العم لأب وان سفل ثم عم الأب ثم ابنه وان سفل ثم عم الجد ثم ابنه وان سفل ثم عم ابي الجد ثم ابنه وان سفلوهكذا على هذه الترتيب في سائر العصبات، ويقد الشقيق منهم على من كان لأب، فاذا لم يوجد احد من عصبات النسب فالمعتق فعصبته ثم معتق المعتق ثم عصبته ثم الحاكم او نائبه

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  – (ج 29 / ص 470)


( وأحق الأولياء ) بالتزويج ( أب ) ؛ لأنه أشفقهم ( ثم جد ) أبو الأب ( ثم أبوه ) ، وإن علا لتميزه بالولادة ( ثم أخ لأبوين ، أو لأب ) أي ثم لأب كما سنذكره لإدلائه بالأب ( ثم ابنه ، وإن سفل ) كذلك ( ثم عم ) لأبوين ثم لأب ( ثم سائر العصبة كالإرث )


[2] & [4] المفتاح في النكاح /18

واما شروط الولي فمنها كونه مسلما ان كانت الزوجة مسلمة، وكونه بالغا عاقلا حرا رشيدا عقلا. فان اختل شرط من هذه الشروط فلا حق له في الولاية بل لمن بعده من الأولياء اي لمن يليه في الدرجة ان لم يوجد من يساويه.

]3[ المفتاح في النكاح /18

حكم ما اذا استوى اولياء النكاح في الدرجة كإخوة اشقاء او لأب او اعمام مثلا   فيزوجها منهم من اذنت له المرأة في تزويجها ، فان اذنت لهم كلهم فلا بد من اجتماعهم على التزويج او توكيل احدهم او توكيلهم جميعا شخصا اجنبيا به، اما اذا اذنت لكل واحد منهم في نكاحها فلكل منهم مباشرة العقد ولو بدون اذن الباقين.


[5] حواشي الشرواني – (ج 4 / ص 222)


(وفارق النكاح) أي حيث لم ينعقد بالكناية اه.

ع ش عبارة المغني وينعقد بالكناية مع النية سائر العقود وإن لم يقبل التعليق والنكاح وبيع الوكيل المشروط فيه الاشهاد لا ينعقدان بها لان الشهود لا يطلعون على النية نعم إن توفرت القرائن عليه في الثانية قال الغزالي فالظاهر انعقاده وأقره عليه في أصل الروضة وهو المعتمد خلافا لما جرى عليه صاحب الانوار من عدم الصحة اه.

قوله: (والكتابة الخ) ومثلها خبر السلك المحدث في هذه الازمنة فالعقد به كناية فيما يظهر

أسنى المطالب  – (ج 14 / ص 319)


( وَلَا يَنْعَقِدُ بِكِنَايَةٍ ) إذْ لَا مَطْلَعَ لِلشُّهُودِ عَلَى النِّيَّةِ ، وَالْمُرَادُ الْكِنَايَةُ فِي الصِّيغَةِ أَمَّا فِي الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ فَيَصِحُّ فَإِنَّهُ لَوْ قَالَ زَوَّجْتُك ابْنَتِي فَقَبِلَ وَنَوَيَا مُعَيَّنَةً صَحَّ كَمَا سَيَأْتِي مَعَ أَنَّ الشُّهُودَ لَا مَطْلَعَ لَهُمْ عَلَى النِّيَّةِ فَالْكِنَايَةُ مُغْتَفَرَةٌ فِي ذَلِكَ ( وَ ) لَا بِ ( كِتَابَةٍ ) وَفِي نُسْخَةٍ وَبِكِتَابَةٍ فِي غَيْبَةٍ أَوْ حُضُورٍ ؛ لِأَنَّهَا كِنَايَةٌ وَقَدْ عَرَفْت أَنَّهُ لَا يَنْعَقِدُ بِهَا بَلْ لَوْ قَالَ لِغَائِبٍ : زَوَّجْتُك ابْنَتِي أَوْ قَالَ زَوَّجْتهَا مِنْ فُلَانٍ ثُمَّ كَتَبَ فَبَلَغَهُ الْكِتَابُ أَوْ الْخَبَرُ فَقَالَ قَبِلْت لَمْ يَصِحَّ كَمَا صَحَّحَهُ فِي أَصْلِ الرَّوْضَةِ فِي الْأُولَى وَسَكَتَ عَنْ الثَّانِيَةِ ؛ لِأَنَّهَا سَقَطَتْ مِنْ كَلَامِهِ .وَعَلَّلَ الرَّافِعِيُّ نَقْلًا عَنْ الْبَغَوِيّ عَدَمَ الصِّحَّةِ بِتَرَاخِي الْقَبُولِ عَنْ الْإِيجَابِ وَهُوَ مَوْجُودٌ فِي نَظِيرِهِ مِنْ الْبَيْعِ مَعَ أَنَّ كَلَامَ الْأَصْلِ فِيهِ يَقْتَضِي الصِّحَّةَ حَيْثُ نَقَلَهَا عَنْ بَعْضِ الْأَصْحَابِ تَفْرِيعًا عَلَى صِحَّةِ الْبَيْعِ بِالْكِنَايَةِ وَأَقَرَّهُ ، وَبِهِ جَزَمَ الْمُصَنِّفُ وَغَيْرُهُ ، ثَمَّ وَعَلَيْهِ فَالْفَرْقُ بَيْنَ الْبَابَيْنِ أَنَّ بَابَ الْبَيْعِ أَوْسَعُ بِدَلِيلِ انْعِقَادِهِ بِالْكِنَايَاتِ وَثُبُوتِ الْخِيَارِ فِيهِ ، وَجَعَلَ الْإِسْنَوِيُّ الرَّاجِحَ فِيهِمَا عَدَمَ الصِّحَّةِ جَاعِلًا مَا صَحَّحَهُ النَّوَوِيُّ هُنَا مِنْ عَدَمِ الصِّحَّةِ دَلِيلًا عَلَى أَنَّ مَا نَقَلَهُ كَالرَّافِعِيِّ ثُمَّ عَنْ بَعْضِ الْأَصَحِّ لِلْأَبِ ضَعِيفٌ ، وَفِي الْأَصْلِ لَوْ اسْتَخْلَفَ الْقَاضِي فَقِيهًا فِي تَزْوِيجِ امْرَأَةٍ لَمْ يَكْفِ الْكِتَابُ بَلْ يُشْتَرَطُ اللَّفْظُ وَلَيْسَ لِلْمَكْتُوبِ إلَيْهِ الِاعْتِمَادُ عَلَى الْخَطِّ عَلَى الصَّحِيحِ وَحَذَفَهُ الْمُصَنِّفُ لِلِاسْتِغْنَاءِ عَنْهُ لِمَا يَأْتِي فِي كِتَابِ الْقَضَاءِ لَا لِقَوْلِ الْبُلْقِينِيِّ : أَنَّهُ لَيْسَ بِالْمُعْتَمَدِ ؛ لِأَنَّهُ فَرْعٌ مِنْ فُرُوعِ الْقَاضِي وَالْقَاضِي يَجُوزُ أَنْ يُوَلِّيَ نَائِبَهُ الْقَضَاءَ بِالْمُشَافَهَةِ وَالْمُرَاسِلَةِ وَالْمُكَاتَبَةِ عِنْدَ الْغَيْبَةِ ؛ لِأَنَّهُمْ صَرَّحُوا ثَمَّ بِأَنَّ الْكِتَابَةَ وَحْدَهَا لَا تُفِيدُ بَلْ لَا بُدَّ مِنْ إشْهَادِ شَاهِدَيْنِ عَلَى التَّوْلِيَةِ .

شرح البهجة الوردية – (ج 14 / ص 267)


( قَوْلُهُ : وَإِذْنُ الْخَرْسَاءِ إلَخْ ) وَيَصِحُّ الْعَقْدُ بِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ إنْ فَهِمَهَا كُلَّ أَحَدٍ فَإِنْ اخْتَصَّ بِفَهْمِهَا الْفَطِنُ فَلَا بَلْ يُوَكِّلُ بِهَا ؛ لِأَنَّهَا حِينَئِذٍ كِنَايَةٌ وَلَا يَصِحُّ بِهَا النِّكَاحُ وَإِنْ صَحَّ بِهَا التَّوْكِيلُ فِيهِ .ا هـ .ق ل عَنْ الْمَجْمُوعِ .وَلَا يَصِحُّ بِالْكِتَابَةِ أَيْضًا عَلَى الْمُعْتَمَدِ ؛ لِأَنَّهُ مَعَ النِّيَّةِ كِنَايَةٌ وَلَا يَصِحُّ الْعَقْدُ فِي النِّكَاحِ بِالْكِنَايَاتِ


[6 [ حواشي الشرواني – (ج 7 / ص 221)


قوله: (وتعذر توكيله) مفهومه أنه لو أمكنه التوكيل بالكتابة أو الاشارة التي يختص بفهمها الفطن تعين لصحة نكاحه توكيله وهو قريب لان ذلك وإن كان كناية أيضا لكنه في التوكيل وهو ينعقد بالكناية بخلاف النكاح اه.

إعانة الطالبين – (ج 3 / ص 103)


ولا تصح الوكالة إلا (بإيجاب) وهو ما يشعر برضا الموكل الذي يصح مباشرته الموكل فيه في التصرف (قوله: وهو ما يشعر الخ) أي الايجاب لفظ يشعر الخ. ومثل اللفظ: كتابة، أو إشارة أخرس مفهمة

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  – (ج 22 / ص 26)


( وَيُشْتَرَطُ مِنْ الْمُوَكِّلِ ) أَوْ نَائِبِهِ ( لَفْظٌ ) صَرِيحٌ أَوْ كِنَايَةٌ وَمِثْلُهُ كِتَابَةٌ أَوْ إشَارَةُ أَخْرَسَ مُفْهِمَةٌ ( يَقْتَضِي رِضَاهُ كَوَكَّلْتُك فِي كَذَا أَوْ فَوَّضْت إلَيْك ) أَوْ أَنَبْتُك أَوْ أَقَمْتُك مَقَامِي فِيهِ ( أَوْ أَنْتَ وَكِيلِي فِيهِ ) كَسَائِرِ الْعُقُودِ


Sumber: forsansalaf.com