Sabtu, 11 Februari 2017

Ziarah ke Makam Nabi


Sejak masa sahabat sampai saat ini. Umat muslim dari segala penjuru tidak ada henti-hentinya datang ke Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW terutama setelah menunaikan ibadah haji. Tidak ada satu pun ulama yang mengingkari hal ini. Semua ulama ahlu sunnah yang terpercaya menyepakati bahwa bepergian untuk berziarah ke makam Nabi SAW adalah satu di antara ibadah yang paling utama. Satu dari bentuk pengagungan dan rasa syukur atas jasa besar Rasulullah SAW yang tidak mungkin bisa dibalas.
Adanya sempalan umat Islam yang mengaku mencintai mencintai Nabi SAW namun menyatakan bahwa perjalanan untuk menziarahi makam Nabi SAW adalah perbuatan maksiat sungguh sangat mengherankan. Bukankah aneh, mereka memperbolehkan segala jenis perjalanan baik untuk perdagangan, mengunjungi kerabat dan lainnya namun ketika yang dikunjungi itu adalah tempat jasad mulia Nabi Muhammad SAW, Sang kekasih Allah, mereka justru mengharamkannya dengan sangat keras. Terlebih dalil yang mereka gunakan sangat dangkal dan bertentangan dengan banyak dalil shahih.
Yang benar bahwa melakukan perjalanan ke makam Rasulullah SAW adalah perbuatan yang sangat dianjurkan berdasarkan al Quran, sunnah, qiyas dan Ijma. Kami akan merinci satu per satu dalil-dalil ini.
Ziarah dalam al Quran
Di dalam al Quran Allah SWT berfirman :
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا [النساء: 64[
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS an Nisa 64)
Ayat di atas berisi anjuran untuk mendatangi Rasulullah SAW untuk mendapatkan pengampunan dan kasih sayang Allah SWT. Para ulama, di antaranya adalah Ibnu Hajar dan as Subki menyatakan bahwa ayat ini berlaku baik di masa hidup Nabi SAW mau pun setelah beliau wafat. Siapa yang berpendapat bahwa ayat ini berlaku khusus di masa hidup Nabi SAW saja telah keliru. Selain karena tidak ada dalil yang mengkhususkan, juga karena dalam ayat ini terdapat perbuatan yang digantungkan dengan suatu syarat yakni pengampunan yang digantungkan dengan syarat mendatangi Rasulullah SAW. Dalam kaidah ilmu Ushul dikatakan apabila perbuatan digantungkan dengan satu syarat maka ini menunjukkan makna umum, berarti ayat ini bermakna umum.
Para ulama tafsir sekelas al Qurtubi dan Ibnu Katsir pun memahami keumuman ayat ini. Buktinya setelah membawakan tafsir ayat ini, mereka mendatangkan kisah Utbi mengenai kedatangan seorang Arab ke makam Rasulullah SAW untuk memohon ampun dengan membacakan ayat ini di hadapan makam Rasulullah SAW.  Ini artinya ayat ini masih berlaku setelah wafatnya Rasulullah SAW. Para ulama pun menganjurkan bagi peziarah untuk membacakan ayat ini ketika menziarahi makam Beliau SAW.
Qiyas
Dalil lain anjuran menziarahi Nabi SAW adalah keumuman hadits :
فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ لِأَنَّهَا تُذَّكِرَ الْمَوْتَ
Berziarah kuburlah sebab itu dapat mengingatkan kematian. (HR Muslim)
Jika menziarahi kubur manusia biasa dianjurkan maka secara qiyas bisa dikatakan bahwa menziarahi Nabi Muhammad SAW adalah lebih dianjurkan lagi. Karena bagaimana bisa menziarahi manusia biasa dianjurkan namun menziarahi manusia terbaik, makhluk Allah yang paling mulia, Nabi Muhammad SAW terlarang ?
Hadits
Para pengingkar ziarah ke makam Rasulullah SAW menebar isu bahwa semua hadits yang menganjurkan ziarah kubur adalah dhaif (lemah) bahkan maudhu (palsu) sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Ucapan ini jelas keliru. Yang mengatakannya pasti tidak memiliki pemahaman tentang ilmu hadits dan kaidah jarh wat ta`dil (cacat dan keadilan perawi). Dan yang paling penting isu ini bertentangan dengan fakta yang ada.
Dalam satu hal isu ini benar bahwa hampir semua hadits ini lemah (bukan maudhu), namun perlu diketahui bahwa hadits-hadits lemah apabila memiliki banyak jalur periwayatan dan sebab lemahnya bukan karena perawinya dicurigai berbohong maka derajatnya bisa meningkat menjadi hasan (baik) sehingga bisa menjadi dalil syariat. Imam Adz Dzahabi sebagaimana dikutip dalam al Maghosid al Hasanah ketika menjelaskan masalah hadits ziarah kubur mengatakan, “Jalur-jalur periwayatan hadits ini semuanya lemah namun saling menguatkan satu sama lain karena tidak ada perawi yang dicurigai sebagai pembohong.”
Sebagian hadits-hadits tentang ziarah bahkan dishahihkan oleh beberapa Ahli Hadits terkemuka seperti as Subki, Ibnu Sakan, al Iraqi, Qodhi Iyadh, Mala Ali Qori, Asy Syuyuthi, al Khafaji dan lainnya. Mereka semua adalah para panutan dan imam yang dijadikan sandaran. Para Imam yang empat semuanya menyatakan bahwa ziarah ke makam Nabi SAW adalah dianjurkan. Jika demikian maka ini cukup menjadi dasar atas shahih dan diterimanya hadits-hadits ziarah. Sebab dalam kaidah ilmu Ushul dan Hadits dikatakan, suatu hadits dhaif (lemah) bisa menjadi kuat bila diamalkan dan difatwakan secara umum.
Di antara hadits-hadits ziarah adalah hadits riwayat sahabat Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ
Siapa yang menziarahi kuburku maka wajib atasnya syafaatku.
Hadits ini diriwayatkan oleh ad Daruqutni dalam Sunannya, Qodhi Iyadh dalam as Syifa, Hakim Turmudzi dalam Nawadir, ad Daulabi dalam al Kuna. Derajat hadits ini paling sedikit adalah hasan (baik). Al Hafidz Suyuthi dalam al Manahil mengatakan, “Hadits ini memiliki jalur-jalur dan penguat-penguat yang menyebabkan Adz Dzahabi menghasankannya.” Al Munawi dan Mala Ali Qori menyatakan hal yang sama. As Subki dalam Syifa As Siqom setelah menyebutkan jalur-jalur periwayatannya mengatakan, “Menjadi jelas bahwa derajat hadits ini paling sedikit adalah hasan dan sebagian ulama bahkan mengklaim hadits ini shahih.” Pendapat mengenai hasannya hadits ini juga dipastikan oleh Syaikh Mahmud Said Mamduh.
Dalam riwayat lain dari Sahabat Ibnu Umar ra dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ جَاءَنِيْ زَائِرًا لَا يُهِمَّهَ إِلَّا زِيَارِتِيْ كَانَ حَقًّا عَلَيّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعاً
Siapa yang datang kepadaku untuk berziarah. Ia tidak memiliki tujuan lain selain berziarah kepadaku maka wajib bagiku untuk menjadi pemberi syafaat baginya di hari kiamat.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikhnya, Athabrani dalam al Kabir, dan Ad Daruqutni dalam Sunannya.
Al Haitsami dalam Majma Zawaid mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perawi bernama Muslim bin Salim dan dia dhoif (lemah).” Namun sebenarnya paling sedikit derajat hadits ini adalah hasan melihat banyak jalur yang saling menguatkan. Sebagian ulama seperti al Hafidz Bushiri dan Ibnu Sakan menganggap hadits tersebut shahih.
Dalam riwayat lain Sahabat Ibnu Umar ra meriwayatkan sabda Nabi SAW:
مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ فِيْ مَمَاتِيْ كَانَ كَمَنْ زَارَنِيْ فِي حَيَاتِيْ
Siapa yang berhaji kemudian menziarahi kuburku setelah aku mati maka seakan ia menziarahiku ketika aku masih hidup.
Hadits ini diriwayatkan ath Thabrani dalam al Kabir dan al Aushat. Salah satu perawinya bernama Hafsh bin Abi Dawud. Imam Ahmad menganggapnya terpercaya namun Sebagian ulama menganggapnya lemah.
Ada pula hadits :
مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِيْ فَقَدْ جَفَانِيْ
Siapa yang berhaji namun tidak menziarahiku maka ia telah menjauhiku.
Hadits ini diriwayatkan ad Daruqutni dan Ibnu Hibban. Di dalamnya ada perawi bernama Nu`man bin Syabl yang sangat lemah, namum Imran bin Musa menganggapnya terpercaya. Al Bazar meriwayatkan pula hadits ini melalui jalur Ibrahim al Ghifari dan ia adalah perawi dhaif. Al Baihaqi meriwayatkan hadits ini dari Sayidina Umar namun ia berkata dalam sanadnya terdapat orang yang tidak dikenal.
Dan masih banyak hadits lainnya. Kesimpulannya bahwa hadits-hadits yang menunjukkan kesunahan ziarah ke kubur Nabi SAW secara khsusus  ada yang  sampai derajat hasan bahkan ada yang yang dishahihkan sebagian imam ahli hadits. Jadi hadits-hadits tersebut layak untuk dijadikan dalil. Sungguh tidak tahu malu orang yang menghukumi semua hadits-hadits itu dengan maudhu (palsu) sebagaimana dikatakan sebagian orang yang tidak mengerti.
Ijma
Kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah SAW juga didukung dengan Ijma (kesepakatan) para ulama salaf yang diakui. Ijma ini dikutip oleh ulama-ulama yang terpercaya.
Qodhi Iyadh al Maliki dalam kitabnya Asyifa mengatakan, “Ziarah ke kubur Nabi SAW adalah satu sunah daripada sunah-sunah kaum muslimin yang disepakati dan satu keutamaan yang dianjurkan.”
Dalam kitab al Madkhal, Imam Ibnul Haj al Hanbali mengatakan, “Ibnu Hubairah menukilkan dalam kitabnya Ittifaq `aimmah (kesepakatan para imam): Bersepakat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, dan Ahmad ra bahwa menziarahi makam Nabi SAW adalah sunnah. Abdul Haq dalam Tadzhib at Thalib mengutip dari Abi Imran al Fasi bahwa menziarahi makam Nabi SAW adalah wajib. Abdul Haq mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wajib adalah sunnah yang sangat ditekankan.”
Syaikh Ibnu Abidin al Hanafi dalam Radul Mukhtar mengatakan “Perkataan bahwa ziarah ke makam Nabi SAW dihukumi sunah adalah berdasarkan kesepakatan umat muslim sebagaimana yang disebutkan dalam al Lubab.”
Imam Ibnu Hajar al Haitami asy Syafii dalam al Jauhar al Munadzom mengatakan, “ Mengenai kesepakatan tentang disyariatkannya ziarah ke makam Rasulullah SAW itu telah dinukilkan oleh beberapa Imam penjaga syariat yang mulia yang menjadi panutan dalam penyebutan khilaf. Yang diperselisihkan di antara mereka hanya mengenai hukumnya apakah wajib atau sunnah. Mayoritas salaf dan khalaf menyatakan sunah bukan wajib. Berdasarkan yang mana saja dari dua pendapat ini maka berziarah dengan segala hal yang menunjang untuk melakukannya seperti melakukan perjalanan jauh walaupun dengan mengkhususkan niat untuk berziarah saja tanpa ada niat beritikaf atau shalat di masjidnya SAW termasuk ibadah yang paling utama dan usaha yang paling mendatangkan hasil.”
Selain mereka masih banyak ulama yang mengutip kesepakatan mengenai anjuran berziarah ke makam Rasulullah SAW baik bagi yang dekat mau pun yang jauh. Di antaranya adalah Taqiyudin al Hishni dalam Daf`u Syubahi man Syabbaha wa Tamarrad, As Subki dalam Syifau Siqom, Nuruddin as Samhudi dalam Wafaul Wafa dan ulama lainnya.
Bepergian untuk berziarah
Dalil-dalil yang telah disebutkan menunjukkan bahwa semua ulama ahlus sunnah wal jamaah tidak mengingkari anjuran menziarahi makam Nabi SAW. Kemudian ada satu masalah yang diperselisihkan para pengingkar ziarah Nabi SAW yaitu masalah perjalanan untuk berziarah. Semestinya hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Sebab ziarah itu menuntut untuk melakukan perjalanan. Tidak mungkin ada ziarah tanpa ada perjalanan menuju tempat yang diziarahi. Jika ziarah ke makam Nabi adalah sunah sudah tentu melakukan perjalanan menujunya adalah sunah pula sesuai dengan kaidah “perantara untuk yang sunah adalah sunah”. Oleh karena itu para sahabat dan ulama sejak dahulu sampai kini senantiasa melakukan dan menganjurkan untuk melakukannya. Di antara kisah shahih dan terkenal mengenai perjalanan dengan tujuan ziarah Nabi SAW adalah perjalanan ziarah sahabat Bilal ra.
Perjalanan ziarah Sahabat bilal RA
Ibnu Asakir meriwayatkan dengan sanad yang jayid (baik) dari Sahabat Abu Darda ra kisah menetapnya Bilal bin Rabbah di daerah bernama Dariya setelah Sahabat Umar bin Khathab ra membebaskan Baitul Maqdis. Ia berkata, “Kemudian Bilal melihat Nabi SAW dalam mimpinya. Rasulullah SAW bertanya, “ Apa arti jauhnya dirimu ini wahai Bilal? Tidakkah sudah tiba waktu bagimu untuk menziarahiku?” Bilal terbangun dalam keadaan sedih dan takut. Ia segera melakukan perjalanan menuju Madinah dan mendatangi kubur Nabi SAW. Ia menangis di sana dan mengusapkan wajah di atas kubur beliau SAW…”
Kisah ini diriwayatkan pula oleh as Samhudi dalam Wafaul Wafa. Al Mizi dalam Tahdzib menukil perkataan As Subki bahwa sanad riwayat kisah ini adalah baik. Begitupula Asyaukhani mengatakan dalam Nailul Author bahwa sanad riwayat Ibnu Asakir adalah baik.
Kesimpulan kisah ini bukan tentang mimpi sahabat Bilal saja, namun adalah perjalanan beliau ra dari Dariya menuju Madinah hanya untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Seandainya perjalanan untuk berziarah adalah haram, tidaklah mungkin beliau yang merupakan seorang sahabat besar melakukannya tanpa diinkari seorang pun dari sahabat termasuk Sayidina Umar ra yang terkenal keras.

sumber: forsansalaf.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar