Nasehat Habib Abdullah al-Haddad yang dijabarkan Habib Taufiq Assegaf
Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad berkata:
“Sungguh mengherankan seseorang yang mencari kehidupan dunia padahal ia belum tentu memperolehnya. Bahkan, meski ia sudah meraihnya, belum tentu ia bisa memanfaatkannya. Yang pasti terjadi adalah, bahwa ia akan keluar meninggalkan dunia ini”.
Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad berkata:
“Sungguh mengherankan seseorang yang mencari kehidupan dunia padahal ia belum tentu memperolehnya. Bahkan, meski ia sudah meraihnya, belum tentu ia bisa memanfaatkannya. Yang pasti terjadi adalah, bahwa ia akan keluar meninggalkan dunia ini”.
Tidak ada fitnah yang paling membahayakan bagi umat Muhammad seperti halnya dunia, momok menakutkan yang mesti dipandang dan diposisikan dengan cerdas dan bijak. Rasulullah bersabda :
فَوَاللهِ مَا الفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّيْ أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْياَ كَماَ بُسِّطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهاَ كَماَ تَناَفَسُوْهاَ فَتُهْلككُمْ كَماَ أَهْلَكَتْهُمْ.
“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang kutakutkan atas diri kalian tapi ku takut dunia dibentangkan untuk kalian seperti kepada umat terdahulu. Sehingga, kalian berlomba-lomba dalam mengejar-kejar dunia sebagaimana umat terdahulu melakukannya yang pada akhirnya mencelakakan kalian seperti mencelakan mereka dulunya.”
“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang kutakutkan atas diri kalian tapi ku takut dunia dibentangkan untuk kalian seperti kepada umat terdahulu. Sehingga, kalian berlomba-lomba dalam mengejar-kejar dunia sebagaimana umat terdahulu melakukannya yang pada akhirnya mencelakakan kalian seperti mencelakan mereka dulunya.”
Kekhawatiran Rasul tidak berlebihan. Banyak di antara kita yang terbujuk oleh rayuan dunia hingga menghalalkan segala cara demi merengkuh kebahagiaan semu dan fana`. Dalam sabda lainnya, Rasul berkata :
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَفِتْنَةُ أُمَّتِيْ المَالُ
“Setiap umat memiliki fitnah dan fitnah umatku adalah harta (dunia).”
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَفِتْنَةُ أُمَّتِيْ المَالُ
“Setiap umat memiliki fitnah dan fitnah umatku adalah harta (dunia).”
Fitnah yang bisa berarti cobaan, aib, atau bujuk rayu inilah yang banyak memperdaya manusia sehingga tidak sedikit di antara mereka yang keluar dari agama disebabkan harta dunia. Bila umat Nabi Musa as. keluar dari agama tauhid karena menyembah patung anak sapi, maka umat Rasul saw banyak yang menyimpang dari agama sebab silau akan gemerincing uang,kemilau harta, tahta dan kedudukan.
لِكُلِّ أُمَّةٍ عِجْلٌ وَعِجْلُ أُمَّتِيْ الدِّيْناَرُ وَالدِّرْهَمُ
“Setiap umat memiliki “anak sapi”, dan “anak sapi” umatku adalah Dinar dan Dirham”. (Hadits)
Hadits Nabi tersebut menganalogkan keadaan umat Musa dengan umat beliau saw. Sebagaimana umat Musa tertipu oleh patung anak sapi, seperti itulah umat masa sekarang yang tenggelam dalam lautan dunia dengan segala gelombang yang menghanyutkan.
Dunia adalah medan cobaan dan ujian. Kita bersusah-payah mencari dunia, tapi ujung-ujungnya adalah kerugian. Terkadang, usai memperolehnya dengan susah-payah, tak bisa dimanfaatkan. Kalaupun bisa dimanfaatkan, sering mengandung unsur mudharat : pembunuhan, korupsi, perampokan, saling tikam antar sesama saudara, terjadi karena saling berebut dunia.
Tidak jarang, seseorang yang berhasil dalam mencari harta, namun ia tidak bisa memanfaatkannya dengan maksimal. Ia kaya raya tapi makanan yang ia konsumsi bak makanan ayam sebab ia terserang beragam penyakit sehingga banyak makanan pantangan yang harus dijauhi.
Seseorang yang memiliki mobil mewah, rumah megah, atau istri yang selalu ia manjakan, tapi setelah ia wafat, ia meninggalkan mobil mewahnya, rumah megahnya, dan istri yang ia manjakan. Selesailah hidupnya. Yang tinggal hanya kenangan belaka dan ia masih harus menghadapi pertanggungjawaban atas semua harta yang ia miliki.
Ketahuilah, Allah telah menjadikan dunia lengkap dengan pembagian yang merata. Tidak akan lari rizqi yang telah ditentukan oleh-Nya. Ada seseorang yang rizqinya di laut, hutan, maupun di perut bumi, semuanya telah ada bagiannya. Demikianlah rona-rona kehidupan dunia. Ada yang mulus dalam pekerjaannya, ada yang kaya, ada pula yang mesti hidup dalam ketidakberdayaan alias miskin. Semuanya sengaja dijadikan oleh Allah sebagai penyeimbang antara yang kaya dengan yang papa. Yang kaya tidak boleh melupakan si miskin, sedang yang miskin tidak harus mengeluh atas kemiskinannya.
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan..” (Al Zukhruf [43]: 32)
لِكُلِّ أُمَّةٍ عِجْلٌ وَعِجْلُ أُمَّتِيْ الدِّيْناَرُ وَالدِّرْهَمُ
“Setiap umat memiliki “anak sapi”, dan “anak sapi” umatku adalah Dinar dan Dirham”. (Hadits)
Hadits Nabi tersebut menganalogkan keadaan umat Musa dengan umat beliau saw. Sebagaimana umat Musa tertipu oleh patung anak sapi, seperti itulah umat masa sekarang yang tenggelam dalam lautan dunia dengan segala gelombang yang menghanyutkan.
Dunia adalah medan cobaan dan ujian. Kita bersusah-payah mencari dunia, tapi ujung-ujungnya adalah kerugian. Terkadang, usai memperolehnya dengan susah-payah, tak bisa dimanfaatkan. Kalaupun bisa dimanfaatkan, sering mengandung unsur mudharat : pembunuhan, korupsi, perampokan, saling tikam antar sesama saudara, terjadi karena saling berebut dunia.
Tidak jarang, seseorang yang berhasil dalam mencari harta, namun ia tidak bisa memanfaatkannya dengan maksimal. Ia kaya raya tapi makanan yang ia konsumsi bak makanan ayam sebab ia terserang beragam penyakit sehingga banyak makanan pantangan yang harus dijauhi.
Seseorang yang memiliki mobil mewah, rumah megah, atau istri yang selalu ia manjakan, tapi setelah ia wafat, ia meninggalkan mobil mewahnya, rumah megahnya, dan istri yang ia manjakan. Selesailah hidupnya. Yang tinggal hanya kenangan belaka dan ia masih harus menghadapi pertanggungjawaban atas semua harta yang ia miliki.
Ketahuilah, Allah telah menjadikan dunia lengkap dengan pembagian yang merata. Tidak akan lari rizqi yang telah ditentukan oleh-Nya. Ada seseorang yang rizqinya di laut, hutan, maupun di perut bumi, semuanya telah ada bagiannya. Demikianlah rona-rona kehidupan dunia. Ada yang mulus dalam pekerjaannya, ada yang kaya, ada pula yang mesti hidup dalam ketidakberdayaan alias miskin. Semuanya sengaja dijadikan oleh Allah sebagai penyeimbang antara yang kaya dengan yang papa. Yang kaya tidak boleh melupakan si miskin, sedang yang miskin tidak harus mengeluh atas kemiskinannya.
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan..” (Al Zukhruf [43]: 32)
Seorang insinyur, misalnya, yang “hanya” mendesain suatu bangunan atau proyek namun penghasilannya jauh di atas rata-rata orang yang bekerja berat dari waktu pagi hingga malam hari. Lihatlah pula, kepada seseorang yang profesinya meneliti antara tembakau yang berkualitas dengan yang tidak, tapi gajinya sekian puluh juta. Maha benar Allah dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu,” (Qs. Al Kahfi [18]: 84)
Hukum sebab akibat telah Allah berikan. Sebab-sebab inilah yang menjadi batu loncatan apa yang hendak kita inginkan. Manusia sebagai khalifah di muka bumi telah disedikan beragam fasilitas yang menjadi jembatan penghubung antara cita-cita yang ia idam-idamkan. Manusialah makhluk yang diberi kemuliaan dibanding makhluk-makhluk lainya.
Bagaimana tidak, padahal manusia yang lemah inilah yang diserahi tanggungjawab untuk mengurus lingkungan hidupnya, menjaga gunung, menggarap sawah pertanian, memelihara hewan-hewan, dan mengeksplorasi kekayaan laut serta bumi. Dengan kecerdikannya pula, manusia bisa menciptakan besi, baja, guna kemaslahatan bersama. Dari bumi, Allah jadikan beribu sebab pekerjaan. Itu sebabnya, kesadaran dari diri kita harus dihidupkan bahwa posisi di dunia akan menentukan prestasi kita di akherat.
Oleh karena itulah, jangan kita terpancing oleh kemilau kehidupan dunia yang serba tak pasti. Di sana masih ada kesempatan yang Allah buka selebar-lebarnya bagi setiap orang yaitu rahmat berupa surga. Bukan berarti, agama melarang seseorang untuk menjadi kaya. Boleh kaya asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan agama. Bekerjalah dengan cara yang halal sehingga keberkahan dalam rizqi yang ia usahakan akan tampak.
Berkaca kepada Ahlu Suffah, golongan papa di masa Rasulullah, bisa menjadi jalan alternatif dalam mencari solusi terbaik hidup di dunia. Salah seorang Ahlus Suffah, Mus`ab bin `Umair ra., kala menjadi martir di medan Uhud, dikafani dengan sehelai selimut yang bila ditutupkan ke kepalanya, terlihat kakinya. Ditutupkan ke kakinya, terlihat kepalanya. Akhirnya Rasul menyuruh untuk menutup kepalanya sedang kakinya ditutup dengan daun. Demikianlah keadaan sebagaian para sahabat khususnya yang tergabung dalam golongan Ahlus Suffah, sederhana dan bersahaja.
Justru kita yang saat ini hidup dalam kecukupan mulai dari pakaian, sandang, papan, dan pangan, serta aksesoris lainnya banyak kita punya, namun masih minim rasa syukur kepada-Nya. Bersyukurlah kepada Allah dan jadilah orang yang dipuji oleh-Nya :
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dari mendirikan shalat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (Qs. An Nur, 37).
Hukum sebab akibat telah Allah berikan. Sebab-sebab inilah yang menjadi batu loncatan apa yang hendak kita inginkan. Manusia sebagai khalifah di muka bumi telah disedikan beragam fasilitas yang menjadi jembatan penghubung antara cita-cita yang ia idam-idamkan. Manusialah makhluk yang diberi kemuliaan dibanding makhluk-makhluk lainya.
Bagaimana tidak, padahal manusia yang lemah inilah yang diserahi tanggungjawab untuk mengurus lingkungan hidupnya, menjaga gunung, menggarap sawah pertanian, memelihara hewan-hewan, dan mengeksplorasi kekayaan laut serta bumi. Dengan kecerdikannya pula, manusia bisa menciptakan besi, baja, guna kemaslahatan bersama. Dari bumi, Allah jadikan beribu sebab pekerjaan. Itu sebabnya, kesadaran dari diri kita harus dihidupkan bahwa posisi di dunia akan menentukan prestasi kita di akherat.
Oleh karena itulah, jangan kita terpancing oleh kemilau kehidupan dunia yang serba tak pasti. Di sana masih ada kesempatan yang Allah buka selebar-lebarnya bagi setiap orang yaitu rahmat berupa surga. Bukan berarti, agama melarang seseorang untuk menjadi kaya. Boleh kaya asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan agama. Bekerjalah dengan cara yang halal sehingga keberkahan dalam rizqi yang ia usahakan akan tampak.
Berkaca kepada Ahlu Suffah, golongan papa di masa Rasulullah, bisa menjadi jalan alternatif dalam mencari solusi terbaik hidup di dunia. Salah seorang Ahlus Suffah, Mus`ab bin `Umair ra., kala menjadi martir di medan Uhud, dikafani dengan sehelai selimut yang bila ditutupkan ke kepalanya, terlihat kakinya. Ditutupkan ke kakinya, terlihat kepalanya. Akhirnya Rasul menyuruh untuk menutup kepalanya sedang kakinya ditutup dengan daun. Demikianlah keadaan sebagaian para sahabat khususnya yang tergabung dalam golongan Ahlus Suffah, sederhana dan bersahaja.
Justru kita yang saat ini hidup dalam kecukupan mulai dari pakaian, sandang, papan, dan pangan, serta aksesoris lainnya banyak kita punya, namun masih minim rasa syukur kepada-Nya. Bersyukurlah kepada Allah dan jadilah orang yang dipuji oleh-Nya :
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dari mendirikan shalat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (Qs. An Nur, 37).
sumber: forsansalaf.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar