Adanya keluhan di tengah masyarakat tentang berkurangnya ulama dan peranan ulama menurut pengamatan kita bukanlah hanya sekarang. Tetapi juga dahulu, di mana saja dalam Dunia Islam. Tidak pernah terdengar ada suatu masyarakat yang merasa ‘kebanyakan’ ulama.
Yang dikatakan ulama ialah orang yang luas ilmu pengetahuannya dalam agama Islam, dan terus menerus mendakwahkan Islam dengan mengajar, bertabligh dan berceramah. Betapapun tinggi ilmu pengetahuan seseorang, tetapi tidak memiliki banyak ilmu tentang Islam dan tidak terus menerus mendakwahkan Islam, tidak dianggap sebagai seorang ulama.
Dewasa ini perkembangan Islam di Indonesia cukup menggembirakan; kaum tua dan muda banyak beribadah, termasuk remaja dan para pejabat. Ini adalah fakta bahwa jumlah ulama tidak berkurang, begitu juga peranannya. Hanya saja, peranan mereka kurang dalam bidang ekonomi dan politik. Dahulu yang sebenarnya ulama sedikit, tetapi menonjol karena sedikitnya. Sedang kini banyak, tetapi tidak menonjol karena banyaknya.
Karena perubahan dan kemajuan masyarakat dalam segala bidang, maka perhatian manusia sekarang adalah untuk mendapatkan kekayaan. Bidang keulamaan tidak mendatangkan kekayaan yang diinginkan orang banyak itu. Bidang ini menjadi sepi. Jarang orang bercita-cita ingin menjadi ulama. Di sinilah letak bahaya yang dihadapi umat Islam, yang harus diikhtiarkan mengubahnya.
Jadi yang sebenarnya sekarang lebih banyak ulama dengan pengertian yang menguasai banyak ilmu agama Islam, tetapi karena dorongan materi, banyak yang tidak berfungsi sebagai ulama. Kebanyakan mereka menjadi pegawai negeri, pegawai kantor Departemen Agama, DPR, ataupun DPRD. Kebanyakan mereka kalau sudah menjadi pegawai, berkuranglah kegiatan dakwahnya.
Cara mengatasi yang lebih baik menurut hemat kita adalah dengan mengarahkan agar siswa Madrasah, Pesantren dan IAIN untuk menjadi guru dan membuka sekolah-sekolah agama, atau memimpin masjid-masjid, lebih-lebih di daerah-daerah minus ulama, yaitu pulau Jawa bagian selatan atau pedalaman di Kalimantana, Sulawesi, NTT dan Papua, yang sekarang sedang giat-giatnya diolah oleh missionaris Kristen. Untuk pengarahan harus dipikirkan penghasilan mereka, agar dapat hidup wajar dengan isteri dan anak-anaknya. Tidak ada salahnya diberi gaji oleh pemerintah, atau organisasi swasta agama Islam, atau masjid-masjid yang mampu menangani.
Baik dahulu atau sekarang, semua orang yang disebut ulama, termasuk yang berwibawa atau menonjol, menjadi ulama bukan seluruhnya karena buah pendidikan, tetapi adalah karena cita-cita dan kesadaran mereka sendiri. Hampir semua, self-made-man. Saya tahu betul karena memang saya juga keluaran sekolah agama, bahwa di antara berpuluh-puluh atau ratusan tamatan sekolah-sekolah agama atau pesantren, toh hanya satu, dua atau tiga orang saja yang menjadi ulama.
Banyak sekali keluaran sekolah agama yang lebih banyak ilmu pengetahuan agamanya, justru tidak menjadi ulama atau kiai. Ada yang menjadi pedagang, pegawai dan lain-lain. Kebalikannya ada yang tidak begitu ahli, tetapi berjiwa menegakkan agama Islam, sehingga ia rajin membaca buku agama, dan mengajarkan kepada masyarakat. Makin lama pengetahuan mereka semakin banyak dan memupuk, akhirnya menjadi ulama besar dan berwibawa.
Untuk memperbanyak ulama yang berwibawa dan alim demikian itu paling baik ialah bila tampak ada murid pesantren yang bercita-cita tinggi untuk menegakkan agama Islam, selepas sekolah, mereka mestinya diberi kedudukan memimpin sebuah sekolah, pesantren atau masjid. Jangan diiming-iming menjadi pegawai, atau profesi lainnya. Hendaknya ada pribadi-pribadi yang berada untuk senantiasa menyokong kehidupan mereka beserta anak dan isteri. Jangan dibiarkan hidup melarat. Panggil dan undang mereka agar bertabligh dan berceramah.
Yang dimaksud Rasulullah SAW: Al-ulama’ waratsatu al-anbiya’ ialah bahwa setiap orang yang punya pengetahuan tentang agama harus menyebarkannya kepada masyarakat, seperti tugas para Nabi. Bukan hanya orang yang banyak ilmu pengetahuan agamanya, tapi juga yang punya ilmu pengetahuan agama sedikit, namun selalu disebarkannya. Maka itulah ulama waratsatu al-anbiya’.
Bagaimana cara membedakan antara ulama dengan lainnya. Dibedakan dengan akhlak dan kegiatan hidupnya. Bila akhlaknya baik dan kegiatannya menyebarkan agama tampak, maka itulah ulama, sekalipun ilmunya sederhana sekali, tetapi akhirnya menjadi alim juga. Karena ia pasti banyak membaca buku. Tidak mungkin seseorang disebut ulama, namun tidak gemar membaca kitab.
Fungsi dan peranan ulama ialah mempelajari agama lalu menyebarkannya terus menerus. Begitu juga fungsi lembaga fatwa. Memberi fatwa kepada siapa saja, termasuk pemerintahan agar semua yang berlaku dalam masyarakat tidak menyimpang dari ajaran agama Islam. Setiap ulama memikirkan bagaimana agar masyarakat tidak kekurangan ulama, sesuai dengan ayat al-Qur’an, surah at-Taubah 122:
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu semua pergi ke medan perang. Di setiap golongan dari mereka harus ada beberapa orang yang berdalam-dalam mempelajari agama untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga diri.
Menurut pandangan saya, mereka yang bercita-cita menegakkan ajaran agama Islam, menjadi orang alim, mengetahui seluk agama Islam sedalam-dalamnya, di masa sekarang ini tidak berkurang dibanding masa yang silam. Bahkan mungkin sekarang lebih banyak.
Hanya syarat mutlak yang tidak boleh tidak untuk mendalami agama Islam ialah melalui pengetahuan Bahasa Arab. Pengetahuan Bahasa Arab harus lengkap dan sempurna, baru bisa menjadi ulama yang menonjol.
Di sini letak kekurangan sekolah-sekolah agama atau madrasah, pesantren dan termasuk IAIN yang sekarang ini. Hal ini gampang diatasi, yaitu dengan memperlengkap pelajaran Bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan kita tersebut.
Perbedaan keulamaan menurut segi spesialisasi selalu ada dan sulit segi yang menjadi perhatian ulama ini disamakan. Ada yang gemar masalah hukum, keimanan, filsafat dan lain-lain. Ulama yang hobinya soal keimanan, tidak mungkin ia menjadi ahli pula dalam bidang hukum. Tetapi spesialisasi di sini tidak dapat disamakan dengan spesialisasi ilmu eksakta. Jadi spesialisasi ulama tidak konkrit, tapi samar.
Menurut pandangan umumnya umat Islam di dunia, yang disebut ulama ialah orang yang ahli agama Islam, sedangkan kaum intelektual dan cendekiawan ialah orang yang ahli dalam ilmu yang bukan agama. Tetapi istilah Bahasa Arab mengartikan bahwa para ahli dalam segala bidang ilmu disebut ulama juga. Berhubung ulama ini sudah menjadi istilah khas keislaman, maka sungguh tak lucu bila agama lain menggunakan kata ulama buat rohaniwan mereka.
sumber: forsansalaf.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar