Mayoritas ulama Ahlu Sunah membagi dosa menjadi dua; dosa kecil dan dosa besar. Berbeda dengan aliran sesat Murjiah yang berpendapat semua dosa adalah kecil selama ia beragama Islam. Berbeda pula dengan aliran Khawarij yang menganggap semua dosa adalah besar dan mengkafirkan pelaku dosa-dosa besar seperti pembunuh dan pezina.
Menurut ahlu sunah pelaku dosa besar tidak menjadi kafir kecuali jika dosanya jelas-jelas menunjukkan kekafiran seperti sujud kepada berhala, melempar al Quran ke tempat sampah atau semisalnya.
Dosa besar tidak terhitung jumlahnya. Untuk mengetahuinya, Ibnu Sholah memberikan beberapa kriteria, diantaranya pelakunya diancam hukuman di dunia seperti pembunuh dengan qishas, pezina dengan rajam, atau diancam dengan siksa kelak di akhirat. Begitupula jika pelakunya disebut sebagai fasik atau terancam laknat Allah SWT seperti dalam hadits disebutkan :
لَعَنَ الله السارقَ
Allah melaknat pencuri. (HR Bukhari)
Dosa yang terbesar adalah menyekutukan Allah SWT kemudian membunuh tanpa hak. Termasuk dosa-dosa terbesar adalah zina, liwath, durhaka kepada orang tua, sihir, menuduh zina kepada orang yang tidak melakukannya, lari dari peperangan, memakan riba dan lainnya. Dosa-dosa yang disebut belakangan termasuk dosa-dosa terbesar namun besarnya dosa itu berbeda-beda tergantung kepada seberapa besar kerusakan yang diakibatkannya.
Termasuk dalam dosa terbesar juga adalah berdusta atas nama Rasulullah SAW. Bahkan Syaikh Abu Muhammad al Juwaini pernah mengatakan, siapa yang sengaja berdusa atas nama Nabi SAW maka ia dihukumi kafir dan keluar dari agama Islam. Namun pendapat ini lemah yang kuat bahwa ini adalah termasuk dosa terbesar dan tidak sampai menjadikan kafir pelakunya.
Dosa-dosa yang tidak masuk dalam kriteria dosa besar disebut dosa kecil. Terkadang suatu dosa kecil dihukumi sama dengan dosa besar. Ini jika disertai dengan Ishrar. Ishrar adalah kembali melakukan dosa dengan niat mengulangi lagi kelak. Jika ia melakukan kembali dosa tanpa niat mengulangi, itu tidak dinamakan ıshrar. Dosa kecil juga dihukumi sama dengan dosa besar jika disertai dengan meremehkan dan ketidak-pedulian, gembira dan bangga atas dosa kecil yang dilakukan, atau jika dosa tersebut dilakukan oleh ulama yang menjadi panutan.
Taubat
Para ulama menyepakati taubat dari semua jenis dosa baik kecil mau pun besar wajib dilakukan segera tanpa ditunda. Mengakhirkan taubat adalah dosa baru dan terhitung satu dosa walau pun ia menunda dalam waktu yang lama. Tapi jelas ukuran berat dan ringan dosanya tergantung kepada lama atau sebentarnya waktu menunda. Ini berbeda dengan pendapat kaum Muktazilah yang menyatakan dosa mengakhirkan itu berbilang seiring dengan berbilangnya waktu.
Taubat secara bahasa artinya kembali. Secara istilah taubat memiliki tiga syarat. Pertama menarik diri dari dosa. Tidak sah taubat pencuri misalnya tanpa menarik diri dari pencurian. Kedua menyesal karena Allah SWT. Tidak sah taubat tanpa penyesalan atau dengan penyesalan bukan karena Allah SWT, seperti menyesal sebab terkena penyakit yang timbul dari dosa. Ketiga, bertekad kuat tidak mengulangi dosa serupa selama-lamanya. Jadi tidak sah taubat tanpa tekad untuk tidak mengulangi dosa. Jika dosanya berhubungan dengan hak manusia seperti merampas, mencaci, dll. Maka terdapat syarat keempat yaitu mengembalikan haknya, atau meminta maaf dan pembebasan dari orang yang ia zalimi. Apabila ia tidak mampu melakukannya karena terlalu banyaknya kezaliman yang ia lakukan misalnya. Hendaknya ia memperbanyak ibadah dengan ikhlas, dan banyak berdoa kepada Allah SWT. Semoga saja Allah SWT membuat rela orang yang dizaliminya di akhirat kelak.
Termasuk syarat taubat adalah harus dilakukan sebelum sekarat dan sebelum matahari terbit dari arah barat. Dalam keadaan sekarat taubat tidak diterima. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ العَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama belum sekarat. (HR Turmudzi)
Jika matahari sudah terbit dari barat maka pintu taubat tertutup. Tidak diterima taubat dari mereka yang sebelumnya belum bertaubat. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ تاب قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ.
Siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat maka taubatnya diterima. (HR Muslim)
Dalam dua keadaan ini tidak ada perbedaan baik taubat dari orang kafir yang ingin masuk Islam mau pun dari orang mukmin yang ingin bertaubat dari dosa, keduanya tidak diterima.
Jika seorang mengulangi dosa setelah bertaubat sungguh-sungguh maka taubat pertama tidak batal. Dosa terdahulu tidak kembali kepadanya namun ia wajib memperbaharui taubat. Ini berbeda dengan pendapat kaum Muktazilah yang menyatakan bahwa taubat menjadi batal jika ia kembali melakukan dosa yang sama sehingga dosa yang terdahulu pun kembali kepadanya.
Yang terlarang adalah ishrar atas suatu dosa, berbeda dengan orang yang selalu bertaubat setiap kali melakukan maksiat. Allah SWT berfirman :
(إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ) (البقرة: من الآية222)
Sesungguhnya Allah menyukai Tawwabin. (QS al Baqarah: 222)
Yang dimaksud dengan Tawwabin adalah orang-orang yang setiap kali berdosa mereka segera bertaubat. Dalam hadits juga disebutkan :
اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa. (HR Ibnu Majah)
Kepastian diterima Taubat
Ulama berselisih apakah taubat pasti diterima atau sekedar dzan (kemungkinan besar) diterima. Imam kita, Abul Hasan al Asyari menyatakan bahwa diterimanya taubat itu adalah pasti (qath`i) berdasarkan dalil yang pasti. Sebagaimana firman Allah :
(وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوبَةَ عَنْ عِبَادِهِ) (الشورى: من الآية25)
Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya. (QS As- Syura: 25)
Jika ada taubat yang tidak diterima itu dikarenakan tidak memenuhi syarat-syarat taubat.
Imam Haramain berbeda pendapat dengan menyatakan taubat tidak pasti akan diterima, hanya kemungkinan besar diterima. Karena menurut beliau ayat tersebut bisa saja dimaknai dengan Allah SWT menerima taubat jika menghendakinya.
Kedua khilaf itu berlaku pada selain taubatnya orang kafir. Adapun taubat orang kafir maka semua ulama sepakat diterima secara pasti dengan dalil yang pasti pula. Allah SWT berfirman :
(قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ) (الأنفال: من الآية38)
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu… (QS al Anfal: 38)
Lalu apakah taubat orang kafir cukup dengan masuk Islam atau harus dengan penyesalan atas kekufuran. Imam Haramain mewajibkan penyesalan sedangkan para ulama lainnya mengatakan cukup dengan iman karena kekafiran terhapus dengan keimanan.
Dosa dibalas setimpal
Keburukan akan dibalas setimpal sebagaimana disebutkan dalam ayat :
(وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا) (الشورى: من الآية40).
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, (QS as Syura: 40)
Ini apabila Allah SWT berkehendak untuk membalasnya. Allah SWT berkuasa pula untuk mengampuninya selama dosa itu bukan kekufuran. Adapun dosa kekufuran akan dibalas dengan kekal di dalam neraka.
Yang dimaksud dengan keburukan adalah sesuatu yang tercela secara syariat baik itu dosa besar mau pun dosa kecil. Dan keburukan yang akan dibalas setimpal adalah keburukan yang ia lakukan sendiri, atau keburukan orang lain yang ditimpakan akibat dari kezalimannya. Pada hari kiamat kebaikan orang yang zalim akan diberikan kepada orang yang dizalimi, bila kebaikannya habis maka keburukan orang yang dizalimi akan ditimpakan kepadanya.
Sedangkan kebaikan akan dibalas dengan berlipat oleh Allah SWT sebagai bentuk anugrah bukan keharusan. Yang dimaksud dengan kebaikan adalah semua hal yang terpuji dalam kaca mata syariat. Kebaikan yang diganjar dengan pahala berlipat adalah kebaikan yang dilakukannya sendiri atau yang dilakukan orang lain dan dihadiahkan kepadanya, seperti jika orang lain bersedekah dan menghadiahkan pahalanya baginya. Juga disyaratkan harus diterima oleh Allah SWT, kebaikan yang tertolak karena sebab riya atau lainnya tidak berpahala sama sekali. Kebaikan yang tidak sempat dilakukan, seperti kebaikan yang ia niatkan namun belum sempat dilakukan tidak dilipat-gandakan. Begitupula jika ia berkehendak melakukan maksiat kemudian ia mengurungkan niatnya maka ia mendapatkan satu kebaikan tanpa pelipat-gandaan. Kebaikan yang diambil dari orang yang menzaliminya di hari kiamat pun tidak termasuk ke dalam kebaikan yang dilipat-gandakan. Pelipat gandaan kebaikan merupakan kekhususan umat ini. Pada umat terdahulu kebaikan dibalas setimpal tanpa dilipat-gandakan.
Paling sedikitnya pelipat-gandaan ganjaran kebaikan adalah sepuluh kali lipat. Terkadang satu kebaikan dilipat-gandakan hingga tujuh puluh sampai tujuh ratus kali atau bahkan tanpa batas. Berbedanya jumlah pelipat-gandaan ini tergantung kepada keikhlasan dan kebaikan niatnya.
Penghapus dosa
Selain dengan taubat, dosa kecil juga dapat terhapus dengan menghindari dosa-dosa besar, baik dengan bertaubat dari dosa besar atau tidak mengerjakan dosa besar sama sekali. Allah SWT berfirman :
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ) (النساء: من الآية31)
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosa kecil) (QS an Nisa: 31)
Rasulullah SAW bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.
Shalat yang lima, antara satu Jumat dengan Jumat lain, Ramadhan dengan Ramadhan lain adalah penghapus dosa yang ada di antara keduanya selama dihindari dosa-dosa besar. (HR Muslim)
Pengampunan dosa kecil selama tidak melakukan dosa besar adalah madzhab Ahlu Sunah. Ketika shalat atau Jumat atau Bulan Ramadhan berulang maka dosa kecil diampuni dengan berlalunya yang pertama, bila di waktu kedua dosa kecilnya habis maka dosa besarnya akan diringankan, jika ia tidak memiliki dosa sama sekali maka derajatnya ditingkatkan di sisi Allah SWT. Dosa kecil juga bisa terhapus dengan istighfar dan wudhu yang sempurna.
Maksud dari diampuninya dosa adalah dimaafkan, yakni ia tidak dihukum atas perbuatannya. Bisa jadi perbuatannya disembunyikan dari mata para malaikat meski pun masih tercatat dalam catatan amal, atau dihapus sama sekali dari catatan para malaikat.
Dosa ibarat penyakit dan ketaatan adalah obatnya. Sebagaimana setiap penyakit memiliki obat tertentu begitupula dosa. Ada dosa yang dapat terampuni dengan shalat, ada yang dengan puasa, dan ada pula yang diampuni dengan kebaikan lainnya. Di dalam hadits disebutkan:
إِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ ذُنُوْباً لَا يُكَفِّرُهَا صَوْمٌ وَلَا صَلَاةٌ وَلَا جِهَادٌ وَلَكِنْ يُكَفِّرُهَا السَّعْيُ عَلَى الْعِيَالِ
Sungguh ada sebagian dosa yang tidak dapat dihapus dengan puasa, shalat atau jihad. Yang dapat menghapusnya adalah usaha menghidupi keluarga. (HR Abu Nuaim)
Dosa-dosa yang terhapus ini adalah dosa yang berhubungan dengan hak Allah SWT. Dosa yang berhubungan dengan hak manusia tidak bisa terhapus kecuali dengan mengembalikan haknya atau meminta maaf meskipun itu adalah dosa kecil. Jika tidak maka kelak kebaikannya akan diberikan kepada orang yang ia zalimi, jika kebaikannya habis maka keburukan orang yang dizalimi akan diberikan kepadanya.
Sedangkan dosa besar tidak dapat diampuni kecuali dengan taubat nasuha atau rahmat Allah SWT. Namun dalam beberapa hadits disebutkan beberapa penghapus dosa besar seperti haji yang mabrur (diterima Allah SWT). Rasulullah SAW bersabda :
اَلْحَجُّ الَمْبَرْوُرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّة
Haji yang Mabrur tiada baginya balasan kecuali surga. (HR Bukhari dan Muslim)
Jihad juga dapat menghapus dosa besar sebagaimana sabda Nabi SAW:
(يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْن).
Diampuni bagi syahid semua dosa kecuali utang. (HR Muslim)
Demikian ulasan ringkas mengenai dosa dan taubat dalam Ahlus Sunah. Semoga ulasan ringkas ini dapat memberikan gambaran betapa pemurahnya Allah SWT. Perhatikan bagaimana keburukan dibalas setimpal sedangkan kebaikan dibalas berlipat. Dosa yang berhubungan dengan Allah SWT dapat diampuni dengan taubat yang sungguh-sungguh namun dosa yang berhubungan dengan manusia tidak dapat diampuni kecuali dengan mengembalikan hak kepada pemiliknya. Ini semua selain menunjukkan betapa luas ampunan Allah SWT juga mengingatkan betapa beratnya dosa-dosa terutama yang berhubungan dengan manusia.
sumber: forsansalaf.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar